REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicaa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan prinsip dasar kasus suap berarti ada pertemuan komitmen atau kehendak pada penerima dan pemberi, baik penyelenggara negara dan swasta. Karena itu, kasus suap tidak hanya bermula dari penyelenggara negara, tetapi bisa juga dari pihak swasta atau korporasi.
Febri menjelaskan, dalam kasus suap, inisiatornya bisa dilakukan oleh penyelenggara negara atau pun swasta. Ada kondisi di mana yang pertama kali meminta adalah penyelenggara negara. Pihak swasta pun kemudian memberikan permintaan tersebut karena diiming-imingi proyek oleh penyelenggara negara.
"Namun, ada juga yang swasta yang inisiatif dengan memberikan setoran, ATM yang bisa ditarik, kemudian memengaruhi beberapa kebijakan. Jadi kedua-duanya memungkinkan," kata Febri kepada Republika di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (18/3).
Febri mengatakan, jumlah kasus suap yang ditangani KPK, baik yang diinisiasi oleh penyelenggara negara maupun pihak swasta, tak jauh berbeda. Sebab, dia mengatakan, pada akhirnya keduanya sepakat untuk menerima dan memberikan suap.
"Beda dengan pemerasan ya. Karena kalau pemerasan pasti yang aktif dan memaksa itu penyelenggara negara. Ada (kasus pemerasan), tidak banyak. Masih paling banyak suap," jelasnya.
Di KPK, ia menerangkan, untuk mengatasi agar kasus suap tak kembali terjadi atau marak, terdapat bagian penindakan dan pencegahan. Dari bagian pencegahan, KPK memiliki program Profesional Berintegritas (Profit).
"Itu teman-teman di tingkat pencegahan di Dikyanmas (Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat) yang melakukan itu. Jadi sistem nilainya kita sampaikan dulu dan standardisasi di internal harus dibuat. Jadi, dicegah," tutur Febri.