REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dinilai telah melanggar amanat reformasi karena mengesahkan revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Aturan, wewenang, tugas dan keanggotaan MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3) lebih menguntungkan wakil rakyat dan membungkam demokrasi.
Dengan lahirnya UU tersebut, DPR menjadi antikritik dan kebal hukum. Sementara anggota masyarakat baik perorangan maupun kelompok yang mengkritisi DPR atau lembaga legislatif dapat dikenai sangsi pidana atau hukuman penjara. Penilaian itu mengemuka pada diskusi bulanan yang digelar Policy Center Iluni UI di Jakarta.
"Dengan disahkannya UU MD3, DPR telah melanggar apa yang sudah ditulis di undang-undang, dengan membatasi orang dalam mengeluarkan pendapatnya," ujar Ketua BEM UI Zaadit Taqwa.
Selain Zaadit, pembicara di acara diskusi itu adalah peneliti Center for Regulation, Policy, and Governance (CRPG) M Jibriel Avessina, dan perwakilan masyarakat Penggugat Judicial Review UU MD3 ke MK, Josua Satria,
Lebih lanjut Zaadit menyatakan, dalam KUHP tidak ada pasal yang menerangkan sanksi-sanksi sandera, melainkan sanksi pidana.
"Jadi apakah sanksi sandera sebagaimana yang disebutkan dalam UU MD3 termaksud dalam pidana atau tidak? Karena tidak ada kejelasannya," ujar Zaadit mempertanyakan.
“Akhirnya menjadi suatu yang tidak adil apabila seorang kemudian ditangkap secara paksa (disandera) karena diminta keterangan oleh DPR dan tidak hadir dalam pemanggilan DPR tanpa melalui proses pengadilan dan pembuktian yang sah,” kata dia menambahkan.
Sementara, Jibriel menyesalkan sikap Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumhan) beserta aparatnya yang lebih banyak bersikap diam terhadap revisi Undang-undang MD3 yang dilakukan DPR. Meskipun revisi mengancam kehidupan demokratis dan dapat memidanakan setiap anggota maupun kelompok masyarakat yang bersikap kritis terhadap DPR dan lembaga legislatif lainnya.
Seharusnya, ujar Jibriel, Kemenkumham bisa mengawal sampai akhir terhadap pasal-pasal yang direvisi. Peraturan MD3 biasa dibentuk untuk mengatur internal di MPR, DPR DPD dan DPRD. UU ini terakhir diubah 2014 dan ada perubahan lagi 2018 ketika masa parlemen hanya tersisa 1,5 tahun lagi. "Mengapa tidak ada penjagaan, sehingga usulan tersebut bisa lolos," kata dia mempertanyakan.