REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengadilan Negeri Pekanbaru telah menjatuhkan vonis kepada terpindana kasus Saracen, Jasriadi, pada Jumat (6/4) lalu. Dari putusan itu, Jasriadi dikenai hukuman 10 bulan penjara, meski Jasriadi memutuskan untuk melakukan banding.
Penasihat hukum Jasriadi, Abdullah Al Katiri melihat sejumlah keanehan yang terjadi selama proses persidangan Jasriadi. “Keanehan yang pertama adalah pasal yang dikenakan oleh Majelis Hakim adalah Pasal 30 ayat 1 UU ITE No 19 Tahun 2016. Sementara pasal 30 ayat 1 tersebut tidak daiatur dalam UU No.19 Tahun 2016 alias norma yg tidak ada,” kata Abdullah saat Republika konfirmasi, Sabtu (7/4).
Hal berikutnya yang dianggap janggal adalah nota pembelaan oleh penasehat hukum yang tidak diminta oleh Majelis Hakim untuk diserahkan. “Kami menduga Majelis Hakim tak akan mempertimbangkan fakta persidangan dan nota pembelaan penasihat hukum, karena kami tidak diminta untuk menyerahkannya,” tuturnya.
Abdullah juga menegaskan, tuduhan yang ditujukan kepada Jasriadi selama ini bahwa terdakwa menyebarkan ujaran kebencian dan SARA juga tidak terbukti. Jasriadi, kata dia, hanya diberikan akses oleh Sri Rahayu, terpidana ujaran kebencian, untuk me-recovery akun Facebook-nya yang sedang bermasalah.
“Jadi, Jasriadi itu diberikan akses masuk oleh Sri Rahayu karena dimintai untuk me-recovery akunnya itu. Nah, polisi melihat kok ada yang bisa masuk akun Sri Rahayu, maka Jasriadi ditangkap di Riau, Pekanbaru,” kata dia.
Dia juga membantah tuduhan Jasriadi memiliki 800 akun Facebook, dan juga tuduhan aliran dana yang masuk ke dalam rekeningnya. “Sudah diperiksa semua, dan tidak terbukti tuduhan-tuduhan itu,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, ia menegaskan, walaupun dihukum hanya 10 bulan, pihaknya dan juga Jasriadi akan mengajukan banding. “Sebab, kata dia bila ia menerima putusan ini, itu berarti ia menerima kalau dia salah, sehingga ia sendiri memutuskan untuk banding,” ujarnya.