REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan mengatakan DPR menunjukkan perbedaan sikap mengenai aturan larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon wakil rakyat. Wahyu mengkritisi sikap DPR yang tidak mempersoalkan larangan mantan narapidana kasus korupsi untuk maju sebagai calon anggota (caleg) DPD.
Menurut Wahyu, KPU sudah memasukkan aturan larangan mantan narapidana korupsi dalam Peraturan KPU (PKPU) pencalonan anggota DPD. Dia mengungkapkan saat membahas larangan tersebut di DPR beberapa bulan lalu, tidak ada penolakan.
Karena itu, dia mempertanyakan, penolakan larangan yang sama untuk DPR. “Kenapa larangan yang sama untuk caleg DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota menjadi dipermasalahkan?" ujar Wahyu kepada wartawan usai mengisi diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (26/5).
Dia melanjutkan, PKPU Pencalonan Anggota DPD itu akan diberlakukan untuk Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019. Dari sisi KPU, menurutnya, tidak mungkin ada perbedaan larangan serupa dalam pencalonan caleg DPR, DPRD provinsi, dan kabupaten/kota.
"Aturan yang kami buat, harus setara," tegasnya.
KPU ingin jika larangan mantan narapidana korupsi diberlakukan bagi caleg di semua tingkatan pada 2019. Karena itu, Wahyu menilai jika alasan DPR menolak pemberlakuan larangan caleg mantan narapidana korupsi untuk DPR, DPRD provinsi, dan kabupaten/kota bersifat politis.
"Tidak mungkin pandangan mereka tidak polltis, sebab DPR lembaga politis. Namun, politis itu tidak selalu negatif," tegasnya.
Wahyu juga menyinggung tentang dua larangan lain yang tidak dipersoalkan oleh DPR. Larangan yang dimaksud, yakni mantan narapidana kasus narkoba dan mantan narapidana kejahatan seksual kepada anak.
Dia menjelaskan, kedua larangan ini tidak disebutkan dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Dua larangan ini justru dimuat dalam UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 yang secara spesifik diberlakukan sebagai syarat calon kepada daerah.
Padahal, sebelumnya, DPR, pemerintah, dan Bawaslu sudah berpendapat jika suatu aturan tidak ada dalam undang-undang di atasnya maka sebaiknya regulasi di bawahnya tidak memuat aturan yang bertentangan. “Maka kenapa keduanya tidak dipersoalkan? Mengapa hanya soal mantan narapidana kasus korupsi yang disoal?" kata dia.
Pada Selasa (22/5) lalu, Komisi II DPR, pemerintah dan Bawaslu, sepakat menolak usulan KPU tentang larangan calon anggota legislatif dari mantan narapidana kasus korupsi. Ketiga pihak sepakat bahwa larangan itu harus memperhatikan pasal 240 ayat 1 huruf (g) UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
Hal tersebut menjadi salah satu kesimpulan rapat dengar pendapat antara Komisi II DPR, KPU, Bawaslu, dan pemerintah yang diwakili oleh Kemendagri pada Selasa (22/5). "Kamimenyepakati aturan larangan mantan narapidana korupsi dikembalikan peraturannya pada pasal 240 ayat 1 huruf (g) UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017," ujar anggota Komisi II DPR Nihayatul Wafiroh saat membacakan kesimpulan pada Selasa (22/5) lalu.
Pasal 240 mengatur tentang persyaratan bakal balon anggota DPR, DPRD Provinsi danDPRD kabupaten/kota. Bunyi ayat 1 huruf (g), yakni bakal caleg harus memenuhi syarat 'tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilanyang telah memperoleh kekuatan hukum tetapkarena melakukan tindak pidana yang diancam denganpidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecualisecara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwayang bersangkutan mantan terpidana'.