Senin 04 Jun 2018 14:58 WIB

Lemahnya Kepastian Hukum Picu Demotivasi Pengusaha

Apindo mengingatkan pentingnya komitmen jaminan kepastian hukum.

Rep: EH Ismail/ Red: Hiru Muhammad
Hariyadi Sukamdani
Foto: antara
Hariyadi Sukamdani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai jaminan kepastian hukum di Indonesia masih sangat lemah, sehingga bisa memicu demotivasi atau hilangnya gairah para pengusaha untuk berinvestasi di Indonesia.

Salah satu contohnya adalah diperkarakannya kembali kebijakan pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada salah satu obligor BLBI yang secara resmi sudah dinyatakan lunas oleh beberapa rezim pemerintahan sebelumnya.

Bahkan, dalam kasus ini, Apindo juga mempertanyakan kredibilitas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diketahui mengeluarkan audit investigatif pada 2017 tanpa ada persetujuan dari pihak yang terperiksa, dalam hal ini mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT).

“Kok bisa BPK ini mengeluarkan hasil audit investigatif tanpa ada auditeenya, tanpa ada yang terperiksa. Itu kan jadi pertanyaan semua orang karena menyalahi prinsip utama dari pemeriksaan dimana orang yang diperiksa mesti dikonfirmasi terlebih dahulu,” kata Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani kepada wartawan, di Jakarta, Ahad (3/5).

Selain BPK, Apindo juga mengingatkan kepada institusi KPK serta Pengadilan Tipikor agar tetap mengedepankan fakta-fakta hukum yang ada, sehingga kredibilitas institusi penegakan hukum negara tersebut tidak rusak di mata masyarakat.

“Kredibilitas KPK juga dipertaruhkan karena bila proses hukumnya seperti ini, yaitu bisa menggunakan segala cara untuk menjerat seseorang, termasuk hal-hal yang tidak dalam koridor. Pengadilan sendiri juga kalau tidak cermat melihat dari perkaranya itu juga nanti akan menjadi bias terhadap penegakan hukum sendiri,” ujar Hariyadi menegaskan.

Secara pribadi, Hariyadi menganalogikan kasus perkara pidana yang tengah dijalani oleh terdakwa SAT di Pengadilan Tipikor sama halnya dengan kasus mafia pajak Gayus Tambunan. Kasus Gayus sempat menyeret nama Darmin Nasution selaku Dirjen Pajak kala itu dalam perkara keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal. Dirjen Pajak memiliki kewenangan untuk menerima atau menolak keberatan pajak sesuai dengan UU Perpajakan.

Jangan karena tekanan publik, kata dia, lalu pengadilan mengambil keputusan yang justru membuat ketidakpastian hukum. “Kalau memang itu tidak bersalah, ya harus dinyatakan tidak bersalah. Ini analogi saya. Tapi karena tekanan publik, diputuskannya salah, ini kan jadi kacau dan jadi preseden,” ujar Hariyado.

Dia juga mengingatkan pentingnya komitmen jaminan kepastian hukum karena bukan tidak mungkin pada rezim pemerintah selanjutnya kebijakan tax amnesty yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo akan diungkit kembali. “Kalau diutak-atik lagi, maka akan semakin runtuhlah kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Padahal katanya kita negara hukum yang menganut secara prinsip hukum-hukum yang harus kita tegakkan,” kata dia.

Di kalangan pengusaha Apindo, Hariyadi melanjutkan, penyelesaian kasus BLBI sudah menjadi preseden karena ada perlakuan hukum yang tidak sama antara para penerima SKL. “Ini selalu menjadi pembicaraan di kalangan pengusaha, sebenarnya kasusnya seperti apa sih? Kasus yang sama, satunya sudah beres, tapi yang satu lagi tidak pernah selesai?” ujar Hariyadi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement