REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah meminta masyarakat tidak menjadikan masjid sebagai sarana politik praktis. Langkah ini guna meminalisasi terjadinya kampanye jelang pesta demokrasi tahun depan.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir mengatakan, masyarakat dapat menjadikan masjid sebagai pusat pendewasaan politik. Ini beda dengan tempat politisasi karena masjid merupakan wahana yang dapat menampung masyarakat dengan keragamannya masing-masing.
“Area masjid tidak dijadikan sebagai politisasi, jadi kecerdasaan politik ini bedanya. Hal ini juga menjadi penting agar warga yang tidak tahu menjadi melek politik, sadar dan tidak kalah penting punya keadaban politik, pusat pendidikan politik dan mencerdaskan politik moral,” ujarnya di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Kamis (5/7).
Untuk itu, menjelang Pilpres 2019 mendatang, Haedar mengharapkan, kegiatan ini bisa berjalan dengan damai dan memiliki sistem demokrasi yang cerdas demi Indonesia semakin maju. “Masyarakat jangan retak pecah sebagai bangsa karena perbedaan politik,” ucapnya.
Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Komjen Syafruddin menambahkan, pihaknya tidak memiliki otoritas dan wewenang untuk mengatur masyarakat selama beraktivitas di masjid. Hanya saja, dia mengajak masyarakat agar membangun masjid yang bisa mencerdaskan Islam dan bangsa.
“DMI memfasilitasi, menjaga dan membangun masjid. Jadi kami tidak mengurusi orang. Silakan orang yang berangkat niat ibadah, kita tidak boleh mengatur. Tapi, mari bersama membangun Islam dan mencerdaskan bangsa demi damai semuanya,” ujarnya.