REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Prijadi Santoso menyatakan, kasus kekerasan berbasis gender masih relatif tinggi, di area domestik maupun publik.
"Begitu juga dengan lokus, baik di dalam rumahnya sendiri, tempat bekerja, situasi darurat dan kondisi khusus seperti daerah bencana dan kalangan disabilitas yaitu penyandang cacat dan lansia," ujar dia dalam keterangan tertulis kepada Republika.co.id, Jumat (12/10).
Prijadi mengatakan, berdasarkan survei Pengalaman Hidup Perempuan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bersama Kementerian PPPA, disebutkan 18,3 persen perempuan usia 15-64 tahun telah mengalami kekerasan fisik atau seksual. Ini dilakukan baik oleh pasangan maupun bukan pasangan dalam periode 12 bulan terakhir maupun semasa hidup.
Selain itu, Prijadi menuturkan, 12,3 persen kasus kekerasan fisik terjadi dalam rumah tangga (KDRT) dan 10,6 persen merupakan kekerasan seksual. Sedangkan, 20,5 persen perempuan masih mengalami kekerasan emosional atau psikologis.
"Ini berupa tindakan mengancam, memanggil dengan sebutan yang tidak pantas dan mempermalukan pasangan, menjelek-jelekan dan lainnya," kata dia.
Prijadi melanjutkan, 24,5 persen perempuan terperangkap dalam kekerasan ekonomi karena diminta pasangan untuk mencukupi segala keperluan hidupnya dan memanfaatkan atau menguras harta pasangan. Di sisi lain, 42,3 persen perempuan mengalami pembatasan aktivitas oleh pasangannya.
Prijadi melanjutkan, kekerasan juga kerap terjadi di daerah rawan bencana dan konflik. Perempuan menjadi lebih rentan dan sering mengalami kekerasan akibat masih rendahnya pemahaman dan perspektif tentang perempuan sehingga diperlakukan sama, bahkan lebih buruk dengan laki-laki.
"Di ranah ketenagakerjaan, sering terjadi berbagai kasus pelanggaran hak dan masih adanya perlakuan diskriminasi terhadap pekerja perempuan dalam berbagai aspek baik bagi mereka yang bekerja di dalam negeri maupun di luar negeri," ujar dia.