REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serikat Pekerja Migran Indonesia (PMI) Arab Saudi mengirim surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait eksekusi mati Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Tuti Tursilawati. Mereka meminta moratorium pengiriman TKI harus tetap dilaksanakan.
Dalam surat itu, SPMI menuliskan kronologis kedatangan, penangkapan, hingga eksekusi Tuti di Arab Saudi. Surat itu juga menceritakan bagaimana Tuti tidak mendapatkan upah selama enam bulan dari delapan bulan masa bekerja kepada sebuah keluarga di Kota Thaif.
Selama masa penahanan, Tuti juga mendapatkan pendampingan dari pemerintah RI. Presiden juga telah menyurati Raja Arab Saudi. Namun, eksekusi mati tetap dilaksanakan bahkan tanpa pemberitahuan kepada pemerintah Indonesia.
Surat tersebut juga memuat data tentang meningkatnya eksekusi mati yang dilakukan pemerintah Arab Saudi terhadap pekerja migran Indonesia selama tiga tahun terakhir. Data organisasi hak asasi manusia Reprieve menyebutkan terdapat 133 eksekusi di Arab Saudi pada periode Juli 2017 hingga 2018.
Jumlah itu hampir mencapai dua kali lipat jika dibandingkan dengan 67 eksekusi pada periode Oktober 2016 hingga Mei 2017. Temuan Reprieve sedikit berbeda dengan data Human Rights Watch yang menyebutkan terdapat 138 eksekusi antara Juli 2017 dan Februari 2018.
Baik Reprieve maupun Human Rights Watch tidak mendapatkan data resmi dari pemerintah Arab Saudi yang sama sekali tidak menerbitkan jumlah eksekusi. Mereka mengkompilasi laporan media di Saudi, seperti kantor berita resmi Arab Saudi.
Surat juga mengungkit moratorium pengiriman TKI 21 negara di Timur Tengah termasuk Arab Saudi. Mereka menegaskan perlunya pemenuhan UU Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Tenaga Migran Pasal 31.
Undang-undang itu berbunyi jika negara tujuan TKI harus memiliki payung hukum yang melindungi tenaga kerja asing, memiliki perjanjian bilateral tertulis dan negara tujuan telah memiliki sistem jaminan sosial pekerja migran Indonesia.
"Selama tiga syarat parameter ini belum terpenuhi, moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi harus tetap diberlakukan apapun alasanya," kata Ketua Umum SPMI Kris Abdurrahman.
Menurut dia, pengiriman pekerja migran ke luar negeri bukan hanya soal peluang dan lapangan kerja. Dia mengatakan, hal lain yang tidak kalah penting adalah terkait perlindungan sebab setiap bulan terjadi ribuan kasus terhadap para pekerja.
Bersamaan dengan itu, SPMI Arab Saudi meminta kepada pemerintah melalui Kemenlu atau perwakilan RI di Arab Saudi untuk lebih proaktif melakukan langkah-langkah pencegahan dan pendampingan kepada pekerja migran yang telah terindikasi atau terkena kasus hukuman mati. SMPI juga meminta DPR RI khususnya Komisi I dan Komisi IX untuk menolak secara tegas tentang rencana pembukaan moratorium. Mereka meminta pemerintah untuk mengkaji ulang dan membatalkan Nota Kesepahaman pengiriman TKI yang telah dilaksanakan beberapa saat yang lalu oleh Menaker Hanif Dakhiry dan BNP2TKI.
SPMI akan menuntut mundur Menaker Hanif Dhakiry dan Ketua BNP2TKI dari jabatanya jika pembukaan moratorium atau pengiriman 30 Ribu TKI tetap dilakukan dengan mengesampingkan aspek perlindungan dan kepastian hukum di negara penempatan. Di saat yang bersamaan SPMI mengajak seluruh WNI para aktivis LSM, ormas dan orpol yang berada di Arab Saudi untuk bersatu mengawal moratorium dan kasus hukum pekerja migran Indonesia yang saat ini terkena ancaman hukuman mati di Arab Saudi.
Infografis eksekusi Tuti Tursilawati