REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Abdul Kadir Karding menilai pernyataan Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Raja Juli Antoni dan politisi PDIP Ahmad Basarah terkait korupsi Orde Baru, sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan semangat reformasi. Karding mengingatkan Soeharto diturunkan pada 1998 karena korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
"TAP MPR nomor 11 tahun 1998 merupakan amanat reformasi bagi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Keluarnya Tap MPR nomor 11 tahun 1998 merupakan bukti bahwa bagaimana KKN mengakar di Indonesia di era pemerintahan Soeharto," ujarnya, Sabtu (12/1).
Karding menyampaikan tanggapan tersebut untuk merespons pihak Partai Berkarya, partai yang didirikan putra bungsu Presiden ke-2 Soeharto yakni Tommy Soeharto, yang akan mengadukan Raja Juli dan Ahmad Basarah ke polisi. Raja dan Basarah mengatakan pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto penuh KKN.
Karding juga meminta Partai Berkarya dan para pendukung capres Prabowo yang mengikuti dan mendorong reformasi untuk tidak melupakan sejarah. Dia mengingatkan bahwa Soeharto diturunkan pada 1998 karena KKN. "Kami menolak lupa sejarah," ucap politisi PKB ini.
Narasi yang menyebut Soeharto sosok sederhana, menurut Karding, bukan menjadi pembelaan dan membuat siapa pun lupa sejarah. Dia mengungkapkan, keluarga dan kerabat Soeharto menguasai hampir seluruh lini bisnis di negara ini pada era Orde baru.
"Jangan dilupakan bahwa Soeharto sebagai Presiden pasang badan apabila ada yang mengganggu bisnis kerabat dan anak-anaknya," katanya.
Karding mencontohkan monopoli cengkeh melalui Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh oleh Tommy Soeharto. Ini menurut dia juga merupakan penyalahgunaan uang negara oleh Yayasan Super Semar. "Pemerintahan Presiden Jokowi melalui Kejaksaan Agung terus memburu aset Yayasan Super Semar untuk disita negara," ucapnya.