REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi membahas serangan pemberontak Arakan Army terhadap polisi pada Senin (7/1) dalam sebuah pertemuan dengan kepala militer Myanmar. Suu Kyi menyerukan militer Myanmar untuk menghancurkan para pemberontak itu.
Juru bicara pemerintah Myanmar Zaw Htay mengatakan Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan anggota kabinet lainnya bertemu dengan para pemimpin militer, termasuk kepala militer Min Aung Hlaing, wakilnya, dan kepala intelijen militer. Mereka akan membahas urusan luar negeri dan masalah keamanan nasional.
"Kantor presiden telah menginstruksikan militer untuk melancarkan operasi untuk menumpas para teroris," ujar Zaw Htay, dalam konferensi pers di ibu kota Naypyitaw.
Suu Kyi dipandang sebagai pemimpin de facto pemerintah sipil. Sementara militer tetap bertanggung jawab atas keamanan di negara itu.
Pemberontak Myanmar menewaskan 13 polisi dan melukai sembilan lainnya dalam serangan di empat pos polisi pada Jumat (4/1), ketika Myanmar sedang memperingati Hari Kemerdekaan ke-71. Seorang juru bicara Arakan Army mengatakan kepada Reuters pekan lalu bahwa serangan itu merupakan tanggapan atas serangan yang dilakukan militer Myanmar di Negara Bagian Rakhine, yang juga menargetkan warga sipil.
Pertempuran antara pasukan pemerintah dan pemberontak Arakan Army di Negara Bagian Rakhine telah membuat ribuan orang mengungsi sejak awal Desember lalu, menurut PBB. Tentara Arakan menginginkan otonomi yang lebih besar di Rakhine, tempat kelompok etnis Rakhine yang beragama Budha merupakan mayoritas penduduknya.
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan mengatakan pada Senin (7/1), 4.500 orang telah berlindung di biara-biara dan ruang-ruang publik setelah mereka terpaksa mengungsi oleh pertempuran itu dalam sebulan terakhir ini. Zaw Htay menggambarkan Arakan Army sebagai sebuah organisasi teroris. Ia mengatakan pihaknya telah meminta pasukan keamanan untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan serangan.
Dia memperingatkan, Arakan Army dapat mengancam Negara Bagian Rakhine selama beberapa tahun mendatang. Zaw Htay juga memperingatkan orang-orang untuk tidak memberikannya dukungan terhadap kelompok itu.
"Apakah mereka ingin melihat siklus kekerasan yang berlangsung selama beberapa dekade? Saya ingin memberi tahu orang-orang Rakhine yang mendukung (Arakan Army), jangan berpikir tentang dirimu, tetapi pikirkan tentang generasi selanjutnya," ujar Zaw Htay.
Pemerintah Myanmar telah memerangi berbagai kelompok pemberontak etnis minoritas tak lama setelah merdeka dari Inggris pada 1948. Beberapa di antaranya telah mencapai kesepakatan gencatan senjata.
Zaw Htay juga menuduh Arakan Army bekerja sama dengan Arakan Rohingya Salvation Army, sebuah kelompok pemberontak Rohingya yang juga dianggap teroris oleh Myanmar. Namun ia menambahkan, Myanmar tidak dapat membasmi kelompok-kelompok itu karena mereka memiliki basis di seberang perbatasan di Bangladesh.
Seorang pejabat kementerian luar negeri Bangladesh dan dua perwira Penjaga Perbatasan Bangladesh (BGB) membantah klaim tersebut. Seorang petugas BGB, Letnan Kolonel Manzural Hasan Khan, telah meminta Myanmar untuk memberikan bukti adanya kamp-kamp militan di Bangladesh.
"Semua terorisme ada di sisi lain perbatasan. Dunia tahu apa yang terjadi di sisi lain itu," kata Hasan Khan, seorang komandan BGB di Cox's Bazar, distrik tempat lebih dari 900 ribu Muslim Rohingya berlindung.
Pemerintah Myanmar dan para pemimpin militer juga membahas gencatan senjata sementara yang diumumkan militer bulan lalu di bagian lain negara itu, tempat kelompok gerilyawan lainnya beroperasi. Pertemuan itu diadakan atas permintaan kantor presiden.