Senin 04 Feb 2019 12:39 WIB

Wakil Ketua DPR Sebut RUU Permusikan tak Penting Dibahas

Fadli Zon menilai RUU Permusikan belum tentu disetujui oleh segenap anggota DPR.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Andri Saubani
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Fadli Zon
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Fadli Zon

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Repubik Indonesia (DPR RI) Fadli Zon turut mengomentari konsep RUU Permusikan yang dinilai membatasi kreativitas musisi. Fadli menyebut, RUU itu tidak penting untuk dibahas.

"Ya apa sih intinya, kok orang mau bermusik saja diatur-atur," kata Fadli Zon di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Senin (4/1).

Menurut Fadli, RUU ini belum tentu disetujui segenap anggota DPR RI. Apalagi, kata Fadli, belum tentu RUU itu disetujui oleh masyarakat dan bila RUU menimbulkan polemik di masyarakat.

RUU Permusikan yang digagas Komisi X DPR RI ini diketahui mendapat penolakan keras dari ratusan musisi. Pasalnya, berdasarkan draf RUU Permusikan, terdapat pasal-pasal yang dianggap rawan membatasi kreativitas hingga mengkriminalisasi musisi.

"Makanya menurut saya kreativitas itu tidak bisa dibatasi, apa yang disebut musik bagus, musik keren, atau musik yang bermutu tinggi, apa standarnya, saya katakan. saya sulit itu," ujar Fadli.

Politikus Gerindra itu pun menegaskan, RUU Permusikan belum penting untuk dibahas. Menurut Fadli, DPR RI seharusnya lebih fokus pada rancangan undang-undang belum terselesaikan yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

"Apa standarnya di dalam berkesenian, tidak bisa kreativitas, seni estetika itu tidak bisa dikasih standardisasi. Kalau saya akan berpendapat begitu, itu bukan sesuatu yang urgent (penting)," ujar Fadli Zon.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan mendapat protes keras dari ratusan musisi meskipun RUU itu baru bersifat draf. Bahkan, ratusan musisi dan praktisi musik yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan membuat petisi untuk menolak RUU tersebut.

Koalisi menilai RUU tersebut tidak perlu dan justru berpotensi merepresi musisi. "Kami merasa tidak ada urgensi bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dan Pemerintah untuk membahas dan mengesahkannya untuk menjadi Undang-Undang," demikian tertulis dalam keterangan Koalisi.

Koalisi menilai, naskah ini menyimpan banyak masalah fundamental yang membatasi dan menghambat dukungan perkembangan proses kreatif dan justru merepresi para pekerja musik. Mereka menegaskan tetap mendukung upaya menyejahterakan musisi dan terbentuknya ekosistem industri musik yang lebih baik, hanya caranya bukan dengan mengesahkan RUU tersebut.

Secara umum, RUU Permusikan ini memuat Pasal yang tumpang tindih dengan beberapa Undang-Undang yang ada seperti: Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Serah-Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, dan Undang-Undang ITE. Lebih penting lagi, RUU ini bertolak belakang dengan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, serta bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dalam negara demokrasi.

“Kalau musisinya ingin sejahtera, sebetulnya sudah ada UU Pelindungan Hak Cipta dan lain sebagainya dari badan yang lebih mampu melindungi itu; jadi untuk apa lagi RUU Permusikan ini," kata penyanyi Danilla Riyadi dalam keterangan resmi tersebut.

Koalisi menemukan setidaknya 19 Pasal yang bermasalah. Mulai dari ketidakjelasan redaksional atau bunyi pasal, ketidakjelasan siapa dan apa yang diatur, hingga persoalan mendasar atas jaminan kebebasan berekspresi dalam bermusik.

Koalisi itu terdiri dari 260 orang yang merupakan musisi hingga praktisi musik, di antaranya frontman Efek Rumah Kaca Cholil Mahmud, Iga Massardi dari Barasuara, Endah Widiastuti dari Endah and Resa, hingga Soleh Solihun.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement