REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU— Wakil Presiden RI Jusuf Kalla diagendakan menutup Tanwir Muhammadiyah ke-51 yang digelar di Bengkulu, Ahad (17/2). JK didampingi Ibu Mufidah Jusuf Kalla, pagi ini bertolak ke Bengkulu menggunakan Pesawat Khusus Kepresidenan BAE RJ-85, dari Pangkalan Udara TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta pada pukul 07.00 WIB.
Rombongan diperkirakan tiba di Bandara Fatmawati Soekarno pukul 08.00 WIB dan langsung menuju lokasi tanwir.
Usai menutup Tanwir Muhammadiyah, Wapres akan menerima Keluarga Kerukunan Selawesi Selatan di Bengkulu.
Selain menutup Tanwir Muhammadiyah, JK juga diagendakan mengunjungi Masjid Raya Baitul Izzah sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia, ditutup mengunjungi PT Pelindo II di Bengkulu, sebelum kembali ke Jakarta pada Ahad (17/2) sore.
Selain Ibu Mufidah Jusuf Kalla, tampak dalam rombongan diantaranya Kepala Sekretariat Wapres Mohamad Oemar, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Bambang Widianto, Staf Khusus Wapres Bidang Penanggulangan Kemiskinan dan Otonomi Daerah Syahrul Udjud.
Tanwir Muhammadiyah dengan bertema 'Beragama yang Mencerahkan' ini merupakan Tanwir terakhir sebelum Muktamar 2020.
Tanwir Muhammadiyah akan mengeluarkan rekomendasi terkait persoalan kebangsaan yang berkembang akhir-akhir ini.
Rekomendasi akan dibacakan pada penutupan Tanwir. Penutupan akan dilakukan Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla, di Wisma Gubernur Bengkulu pukul 09.00 WIB.
Tema Tanwir Beragama yang Mencerahkan sebagaimana disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, diangkat setelah melalui diskusi lama, terutama terkait dengan berbagai kehidupan terutama politik
Dalam sepuluh tahun terakhir ini ada kegairahan untuk hidup beragama yang tinggi. Bukan hanya di Islam, melainkan juga di agama-agama lain yang kemudian bermuara pada peneguhan identitas keagamaan yang kental.
Penyebabnya antara lain proses perubahan sosial dan modernisasi yang melahirkan sekularisasi, agama hadir sebagai oase di tengah ancaman sekularisme.
Demokrasi memunculkan berbagai paham keagamaan yang sebetulnya keinginan kembali pada ajaran agama yang murni, namun mengalami pengerasan yang cenderung menjadi ekstrem.
Kecenderungan beragama berlebihan misalnya ditunjukkan dalam cara berpakaian merupakan fenomena ingin kembali pada agama yang puritan.
Agama hanya dilihat dari satu aspek ibadah, mengabaikan aspek muamalah. Hubungan ukhuwah sesama pemeluk agama sama yang mestinya interrelasi dan interkoneksi menjadi saling berlawanan ketika pakaian mereka berbeda.
Demikian pandangan yang disampaikan Haedar Nashir dalam kesempatan temu wartawan di sela sidang-sidang Tanwir. Sisi lain dari ekspresi keagamaan identitas seperti itu, menurut Haedar, orang menyebut radikalisme agama, sebagai kelanjutan dari ekstremisme, terhadap masalah kemungkaran yang mestinya diselesaikan secara hukum, dilakukan dengan main hakim sendiri.
“Agama menjadi instrumen untuk melakukan tindak kekerasan terhadap mereka yang berbeda paham. Niatnya nahyi munkar, caranya dengan ekstrem, radikal,” kata Haedar.