REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan, revisi regulasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 76 Tahun 2010 mengenai pengembalian pajak pertambahan nilai (PPN) atau value added tax (VAT refund) untuk turis sudah dalam tahap pembahasan. Pemerintah menargetkan, perubahan regulasi dapat rampung pada 2019.
Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Robert Pakpahan mengatakan, VAT refund untuk turis sudah dalam pipeline. Tujuan regulasi ini adalah untuk menggenjot belanja turis asing di Indonesia. "Di samping itu, agar UMKM dapat tertarik dalam program VAT refund for Tourist," tuturnya dalam acara Dialog Ekonomi dan Kebijakan Fiskal di Jakarta, Selasa (19/2).
VAT refund adalah pemotongan pajak 10 persen yang sudah diberlakukan sejak 2010. Peraturan pemotongan diberikan terhadap nilai PPN paling sedikit Rp 500 ribu dalam satu faktur pajak khusus (FPK) dari satu toko ritel yang sama pada tanggal sama. Artinya, turis harus melakukan transaksi minimal Rp 5 juta dalam satu faktor di satu ritel pada satu hari.
Rencana perubahan akan diberlakukan terhadap jumlah faktur dan batasan waktu. Robert menjelaskan, nilai PPN yang diberlakukan masih minimal Rp 500 ribu. Tapi, jumlah tersebut dalam formulir permohonan untuk satu atau lebih FPK dengan batasan minimal Rp 50 ribu per FPK.
Selain itu, turis tidak harus berbelanja di satu ritel, melainkan beberapa. Mereka juga dapat melakukan transaksi pada tanggal berbeda. "Jadi, tidak harus di hari yang sama," kata Robert.
Fasilitasi VAT refund untuk turis ini berlaku bagi pelancong mancanegara yang berbelanja di lima bandara internasional. Yakni, Soekarno-Hatta Jakarta, Ngurah Rai Denpasar Bali, Kualanamu Medan, Adi Sutjipto Yogyakarta, dan Djuanda Surabaya Jawa Timur.
Robert mengakui, kebijakan VAT Refund berpotensi mengurangi penerimaan pajak negara. Tapi, ia tidak cemas mengingat jumlahnya yang tidak signifikan.
Selain itu, regulasi ini dinilai dapat berimbas positif terhadap perekonomian Indonesia melalui peningkatan jumlah wisatawan asing yang berbelanja di dalam negeri.
Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Penyewa Pusat Belanja Indonesia (Hippindo) Budiardjo Iduansjah mengakui, pihaknya sudah lama menantikan perubahan dari regulasi VAT refund. Sebab, jumlah minimum transaksi VAT refund masih terlalu tinggi, yakni Rp 5 juta.
"Kami mengajukannya menjadi Rp 1 juta," katanya.
Tingginya nominal tersebut membuat fasilitas VAT refund tidak banyak diketahui pelaku usaha, sehingga cenderung kurang efektif.
Ia berharap, pemerintah dapat menemukan solusinya. Sebab, fasilitas ini berpotensi besar meningkatkan penjualan ritel offline, termasuk UMKM yang berada di bandara.
Budiardjo mengatakan, penurunan batas transaksi VAT refund sudah disampaikan sejak tahun lalu, tepatnya menjelang pelaksanaan Asian Games. Momen tersebut mendatangkan ratusan ribu turis asing ke Indonesia.
Belanja mereka di ritel-ritel memungkinkan industri tumbuh dengan pesat sekaligus menjadi stimulus industri ritel yang tertekan daya beli di kemudian hari.
Selain itu, Budiardjo menambahkan, pemerintah juga harus melakukan kebijakan yang terintegrasi. Di antaranya dengan meningkatkan jumlah toko yang memberikan fasilitas VAT refund.
Saat ini, setidaknya baru 230an toko di lima bandara internasional di Indonesia yang menerapkannya. "Mungkin dapat ditambah sampai dua kali lipat di tahun ini atau tahun depan," ujarnya.
Tidak kalah penting, Budiardjo menekankan, pemerintah juga harus meningkatkan sosialisasi dan informasi kepada masyarakat maupun sektor pariwisata. Selama ini, hanya sedikit di antara pelaku pariwisata yang menyadari akan adanya fasilitas ini.