REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Kementerian Pertanian Cina mendesak pemerintah daerah untuk memberikan subsidi sementara kepada peternak dan produsen babi. Hal itu menyusul adanya kekhawatiran dampak wabah penyakit flu babi yang menular.
Kementerian Pertanian Cina juga meminta pihak berwenang setempat untuk mengeluarkan kompensasi tepat waktu bagi peternakan yang terinfeksi. Selain itu, mereka juga diminta untuk meningkatkan biosecurity seperti menambahkan peralatan desinfeksi tekanan suhu tinggi.
Kementerian Pertanian Cina mencatat, hingga Februari 2019 jumlah induk babi turun 19,1 persen dan jumlah babi yang masih hidup turun 16,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, harga rata-rata daging babi tanpa lemak di 16 provinsi naik 36,9 persen year on year.
Banyak peternakan besar yang tidak mau mengembangbiakkan babi karena adanya wabah penyakit tersebut. Penyakit itu telah membunuh sekitar 90 persen babi yang terinfeksi, dan hingga kini tidak ada obat maupun vaksin yang dapat mencegahnya.
Seorang analis di China-America Commodity Data Analytics, Yao Guiling, meluasnya wabah flu babi telah menakan anggaran provinsi. Dalam banyak kasus, pihak berwenang tidak mengeluarkan kompensasi kepada peternakan yang terkena penyakit tersebut.
Rabobank memperkirakan produksi babi di Cina akan turun lebih dari 20 persen pada 2019. Hal ini dapat mengancam harga daging babi melonjak di pasaran. Yao mengatakan, pasokan daging babi dari luar negeri tidak akan berdampak signifikan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Menurutnya, pasokan global yang tersedia hanya sekitar 2 juta ton.
"Ada kesenjangan yang cukup jauh antara volume (dari luar negeri), sedangkan produksi tahunan kami lebih dari 50 juta ton, sehingga harga daging babi bisa naik cukup parah," ujar Yao.
Konsumen daging babi terbesar di dunia telah melaporkan adanya 114 wabah flu babi Afrika sejak Agustus 2018. Sejumlah industri memperkirakan, jumlah wabah flu babi dapat melonjak lebih banyak lagi.