REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat hingga 30 April 2019 kemarin realisasi penyaluran LNG domestik sebesar 588,28 bbtud. Angka ini tidak sesuai dengan kontrak yang sudah dibuat oleh para penyerap domestik yaitu sektor pupuk, listrik dan industri.
Wakil Kepala SKK Migas, Sukandar menjelaskan sektor listrik atau dalam hal ini PLN yang semula di awal kontrak memesan 17 kargo LNG atau sekitar 1.142,93 bbtud pada awal tahun menyatakan mengurangi pesanan menjadi hanya enam kargo saja atau setara dengan 613,34 bbtud.
"Akibatnya kami harus menjual 11 kargo yang sebelumnya menjadi pesanan PLN. Sebelumnya, Desember tahun lalu PLN memesan 17 kargo, namun pada Februari kemarin menyatakan bahwa pesanan turun menjadi enam kargo saja," ujar Sukandar di DPR, Kamis (16/5).
Lebih lanjut, Deputi Keuangan dan Monetisasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Arief Setiawan Handoko menambahkan, sisa 11 kargo tersebut berasal dari LNG Bontang, dan rencananya akan dijual ke spot.
"PLN kan mungkin ambil dari batu bara atau gas pipa, karena memang Keputusan Menteri kita kan mengharuskan penggunaan gas pipa dulu diutamakan, baru LNG, nah LNG juga diutamakan domestik dulu, baru ekspor," ujar Arief dilokasi yang sama.
Sedangkan untuk sektor Pupuk, kata Sukandar sejauh ini pasokan gas untuk industri pupuk cukup. Hanya saja khusus di Jawa Timur memang SKK Migas kehabisan pasokan.
"Jatim iya, supply kurang, pupuk juga. Karena bagi kami pupuk dan industri kan sama. Iya, misalnya Petrokimia Gresik, itu masih short pasokannya, tapi kalau Kalimantan Timur, pupuk, methanol itu gasnya terpenuhi kok," ujar Sukandar.