REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR RI daerah pemilihan (dapil) Kalimantan Barat, Daniel Johan menilai, jaringan-jaringan yang merupakan perantara dari para korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), harus ditindak. Sebab para 'mak comblang' atau agen ini yang menjadi sumber para warga kelas bawah untuk diperdagangkan.
"Perantaranya harus ditindak. Para korban ini dieksploitasi. Kita tidak tahu si perantara itu, dapat berapa dari pembelinya, sedangkan pengakuan korban TPPO, tidak mendapat apa-apa," ujar Daniel kepada Republika.co.id saat menjemput kepulangan dua korban TPPO dari China di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Sabtu (13/7) malam.
Daniel mengatakan, segala bentuk perdagangan orang dengan tegas ditolak negara. Sebab hal itu selain melanggar hukum pidana, juga melanggar hak-hak kemanusiaan. "Apalagi kalau misalkan di sana terjadi pengekploitasian atau penyiksaan," jelasnya.
Dua korban dengan inisial YM dan IP mendarat di bandara Sokarno Hatta untuk melakukan transit dari China pulang ke Kalimantan Barat. Dari pengakuan kedua korban, Daniel menyimpulkan bahwa secara undang-undang keduanya adalah bagian dari perdagangan orang.
"Artinya mereka ke sana, dan dibayar, dan kita tidak paham, jangan-jangan perantaranya dapatnya banyak. Sementara korban dapatnya sedikit atau tidak mendapatkan apa-apa seperti yang telah dijanjikan. Mereka dieksploitasi," kata politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini.
Untuk itu, Daniel menegaskan, untuk menindak para perantara yang menjadi sumber bermuaranya TPPO, pihaknya pun langsung melayangkan surat resmi kepada Komisi I DPR RI untuk menindaklanjuti kasus perdagangan orang. Meski demikian, ia khawatir dengan para korban yang tidak diketahui keberadaannya.
Sekjen Serikat Buruh Indonesia (SBMI) Bobi Anwar Ma'arif mengatakan, kasus ini merujuk dari tiga unsur pelanggaran TPPO. Di antaranya, proses, cara, dan tujuan eksploitasi sebagaimana Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO.
Pada proses perekrutan dan pemindahan, Bobi mengatakan, terdapat keterlibatan para perekrut lapangan untuk mencari dan memperkenalkan perempuan kepada pria asal China untuk dinikahi dan kemudian dibawa ke negaranya.
"Cara penipuan membujuk para korban untuk menikah dengan iming-iming akan dijamin seluruh kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Keluarga para korban juga diberi sejumlah uang," kata Bobi.
Para perantara, kata Bobi, memanfaatkan posisi rentan korban yang seluruhnya berasal dari keluarga miskin, tidak memiliki pekerjaan, tulang punggung keluarga, beberapa di antaranya merupakan janda dan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dari perkawinan sebelumnya sehingga dengan mudah menyebabkan korban dan keluarga menyetujui perkawinan.
Selain itu, ditemukan pemalsuan dokumen perkawinan khususnya pada kasus dua korban yang masih berusia anak di bawah umur. Menurut Bobi, tujuan dalam kasus perkawinan pesanan ini adalah untuk dieksploitasi.