Kamis 01 Aug 2019 19:48 WIB

Memulihkan Muruah Hakim

Masih jamak ditemukan hakim di Indonesia yang berperilaku menyimpang.

Red: Fernan Rahadi
Taufiqurrahman
Foto: dokpri
Taufiqurrahman

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Taufiqurrahman Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia & Anggota Forum Kajian dan Penulisan Hukum (FKPH) FH UII

Secara konstitusional, Indonesia menjunjung tinggi konsepsi negara hukum yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Hal ini merupakan tombak utama untuk memastikan hadirnya keadilan dalam keberlangsungan penyelenggaraan bernegara. Penegakan hukum untuk keadilan merupakan salah satu variabel penting dalam penyelenggaraan negara yang berdasarkan atas hukum. 

Salah satu instrumen sekaligus aktor yang cukup fundamental dalam penegakan hukum (law enforcement) adalah hakim. Sayangnya, hingga saat ini masih jamak ditemukan hakim di Indonesia yang berperilaku menyimpang, sehingga mencederai sosoknya selaku penegak keadilan. 

Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya hakim yang terjerat kasus tindak pidana korupsi. Setidaknya, 32 hakim sepanjang 3 (tiga) tahun terakhir terjerat kasus korupsi. Bahkan di awal 2019 Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) kembali menangkap tangan hakim di Pengadilan Negeri Balikpapan.

Penulis mencermati ada beberapa faktor yang menyebabkan demoralisasi hakim di Indonesia. Pertama, adanya kesenjangan normatif dan empiris dalam mutasi jabatan hakim pascalahirnya SK KMA Nomor 139/2013. Pada tataran normatif, sistem mutasi ini sudah cukup baik. 

Namun pada praktiknya, mutasi dan promosi jabatan hakim masih sangat dipengaruhi oleh kedekatan hakim-hakim pengadilan yang berkedudukan dibawah Mahkamah Agung (MA) dengan hakim-hakim di MA itu sendiri (Komisi Yudisial;2017;126). 

Senada dengan pendapat Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Asep Irwan Iriawan, bahwa praktik mutasi hakim tidak mengedepankan kualitas dan integritas hakim. Kedua, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) tentang pengadaan hakim cenderung tertutup dan tidak melibatkan partisipasi publik untuk menjaring calon hakim. 

Penulis mengajukan beberapa usulan sebagai ikhtiar untuk mengatasi persoalan ini. Pertama, melibatkan publik dengan memberi ruang partisipasi pada proses rekrutmen, promosi, dan mutasi hakim. Adapun yang dimaksud dengan publik ini dapat diwakili oleh tokoh masyarakat, akademisi, dan lembaga kemasyarakatan untuk terlibat memantau, menilai, dan memberi masukan atas kualitas dan integritas hakim maupun calon hakim. Partisipasi publik ini merupakan indikator yang harus diperhatikan untuk dapat menghasilkan hakim yang berkualitas.

Kedua, melibatkan Komisi Yudisial (KY) dalam proses rekrutmen calon hakim. Hal ini tentu harus mengubah sistem rekrutmen satu atap sebagaimana Putusan MK Nomor 43/PUU-XII/2015, yang hanya memberi kewenangan kepada MA. Dasar pertimbangan keterlibatan KY ini adalah adanya kesepakatan politik pada amandeman ketiga UUD 1945 NRI yang mengingikan pengawasan terhadap hakim, baik itu dari segi etik maupun non etik. Artinya, menjadi relevan ketika KY dilibatkan dalam proses rekrutmen.

Alternatif di atas diharapkan dapat menghadirkan keadilan bagi setiap lini kehidupan masyarakat. Karena, jabatan hakim pada satu sisi merupakan jabatan yang sangat mulia. Tetapi, pada sisi lain, jabatan hakim juga dapat sangat terhina manakala disalahgunakan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement