Ada Resistensi
Wacana amandemen terbatas UUD 1945 diketahui mencakup dua isu: penerapan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan pemulihan peran MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Logikanya, bila isu yang kedua itu terwujud, pemilihan presiden (pilpres) secara langsung oleh rakyat akan tergantikan dengan pemilihan oleh MPR. Bagi sebagian kalangan, ini "menakutkan."
Untuk diketahui, pada Rabu (14/8) lalu, Presiden Jokowi sempat menunjukkan resistensinya terhadap amandemen terbatas UUD 1945. Sosok yang naik ke kursi RI-1 berkat Pilpres langsung itu menolak bila presiden Indonesia harus dipilih oleh MPR, seperti saat era Orde Baru.
Bagaimanapun, PDI Perjuangan (PDIP) lantas mengklarifikasi penolakan Jokowi atas wacana amandemen terbatas UUD 1945. Tampak partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri ini tak ingin dianggap berseberangan pendapat dengan Jokowi.
Sementara itu, PDIP termasuk yang cukup getol menyuarakan agenda amandemen terbatas UUD 1945 untuk MPR periode 2019-2024.
Sekretatis Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto telah memberi pernyataan. Jokowi, sebut dia, tidak menolak seluruh aspek amandemen terbatas UUD 1945, tetapi hanya pada aspek pemilihan presiden.
"Jadi yang ditolak itu terkait dengan pemilihan presiden karena ada persepsi seolah dengan amandemen terbatas pemilu presiden akan dilaksanakan oleh MPR padahal prinsip kedaulatan rakyat tetap dijalankan sebaik baiknya," kata Hasto di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Jumat (16/8).
Terkait hal itu, Hasto mengatakan, amandemen terbatas tidak masuk dalam ranah pemilu presiden (pilpres) secara langsung oleh rakyat. Amandemen terbatas UUD 1945, menurut Hasto, memberikan haluan kepada negara untuk mementukan arah besar pembangunan bangsa. Sekjen PDIP ini pun meyakini, amandemen terbatas UUD 1945 tidak akan memengaruhi pilpres
"Tidak (pengaruh) karena seluruh kerja sama yang dilakukan termasuk dengan presiden semata didedikasikan bagi kepentingan haluan negara kita," ujar dia.