Selasa 03 Sep 2019 01:21 WIB

JK Sebut Penangangan Konflik di Aceh dan Papua Berbeda

Aceh menjadi daerah yang aman sejak ditandatangani Perjanjian Helsinki pada 2005 lalu

Rep: Fauziah Mursid/Febrian Fachri/ Red: Nidia Zuraya
Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla menyampaikan orasi ilmiah di Gedung AAC Dayan Dawood Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh, Aceh, Senin (2/9/2019).
Foto: Antara/Irwansyah Putra
Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla menyampaikan orasi ilmiah di Gedung AAC Dayan Dawood Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh, Aceh, Senin (2/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyinggung mengenai penanganan konflik di Papua dan Aceh. Menurut JK, meski keduanya diberikan kewenangan otonomi khusus (otsus), namun penanganan konflik di Papua dan Aceh berbeda karena masing-masing daerah memiliki karakter yang tidak sama

JK mengatakan Aceh menjadi daerah yang aman sejak ditandatangani Perjanjian Helsinki pada 2005 lalu. Perjanjian ini sebagai bentuk kesepakatan antara pemerintah dan pejuang kemerdekaan Aceh saat itu.

Baca Juga

"Aceh menjadi sangat aman sejak 15 tahun lalu, setelah perdamaian kita lakukan dan otonomi khusus diberlakukan untuk dua provinsi tersebut. Tapi kenapa hasilnya berbeda? Papua tetap bergejolak sampai kemarin," ujar JK saat bersilaturahmi dengan Anggota Forum Koordinasi Pimpinan Daerah dan tokoh masyarakat se-Sumatera Barat di Hotel Grand Inna, Padang, Senin (2/9).

JK menilai, kondisi Aceh yang saat ini lebih baik dari Papua menandakan perbedaan karakteristik penanganan masing-masing daerah. Ia menerangkan, meski dana otsus untuk Papua dan Papua Barat lebih besar, ternyata tidak bisa menyelesaikan masalah di kedua daerah tersebut.

"Anggaran untuk kedua provinsi tersebut, itu dibanding dengan daerah lain termasuk Sumbar, Jawa, Sulawesi, itu per penduduknya jauh berbeda, tapi tetap saja ada ketidakpuasan yang terjadi sehingga menimbulkan masalah-masalah," kata JK.

Menurut Wapres, persoalan di Papua disebabkan oleh beberapa hal, antara lain ketidakpuasan masyarakat lokal terhadap pemerintah pusat, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan pembangunan di daerah.

"Ini termasuk bermacam-macam kemungkinan, antara lain pemerintahan yang tidak memuaskan masyarakat sehingga menimbulkan ketidakadilan; akibat pendidikan tidak merata sehingga menimbulkan kesenjangan; tidak memberikan pendapatan yang baik kepada masyarakat," jelas JK.

Meskipun telah dilakukan pembangunan infrastruktur di Papua, Wapres mengatakan hal itu ternyata belum menjadi jawaban atas persoalan yang selama ini dirasakan masyarakat di sana. "Ternyata di Papua, infrastruktur yang dibangun dengan sangat sulit itu, tidak menambah atau malah tidak memberikan sesuatu hasil yang kita harapkan untuk pemerataan, harmonisasi dan kesejahteraan," katanya.

Namun demikian, JK mengatakan persoalan mendasar masalah Papua tidak lepas adanya spirit dan keinginan memisahkan diri. Sementara, sebab khususnya, JK mengungkap, karena adanya pernyataan rasialis yang menyinggung masyarakat Papua.

Karena itu, JK menilai sudah sepatutnya masyarakat Indonesia belajar dari pengalaman untuk menjaga keharmonisan bangsa. "Kita juga perlu ingat saat 2-3 tahun lalu terjadinya demontrasi besar di Jakarta juga karna satu kata yaitu "Almaidah". Jadi artinya kita sendiri harus menjaga perasaan masing-masing untuk menjaga keharmonisan bangsa ini," papar JK.

JK melanjutkan, disamping itu juga semua pihak harus mengetahui betul masalah yang timbul di tiap daerah dan permasalahannya. "Mudah-mudahan kita mendapat penyelesaian yang baik, walaupun kadang-kadang terjadi kesalahpahaman," kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement