REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur yang dipaparkan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu dinilai sudah tepat. Alasannya, kualitas lingkungan hidup di Jakarta sudah kian memprihatinkan.
Hal itu bukan tanpa sebab. Penggiat HAM dan ahli lingkungan, Tasdiyanto Rohadi, memaparkan beberapa faktor yang mengharuskan ibu kota dipindah ke luar Jawa. "Pada 2019 ini, kita semakin terperangah menyaksikan kualitas udara di Jakarta terburuk di dunia,” kata Ketua Umum Perhimpunan Profesional Lingkungan Seluruh Indonesia ini di sebuah acara diskusi ilmiah.
Doktor di bidang Lingkungan dengan predikat cumlaude dari UGM Yogyakarta ini mengungkapkan berdasarkan US Air Quality Index (AQI), pada 8 Agustus 2019 pukul 11.40 WIB, kualitas udara Jakarta tercatat di angka 156 kategori tidak sehat. Parameter menunjukkan PM 2,5 konsentrasi 64.4 µg/m³.
Hasil pemantauan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2018 telah menunjukkan paparan PM 2,5 rata-rata tahunan 39 µg/m3. Angka-angka itu memperlihatkan kategori tidak sehat. Sedangkan hasil pemantauan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menunjukkan data antara 29-102 µg/m3 dengan rata-rata tahunan 43 µg/m3 yang juga masuk kategori yang sama, yakni tidak sehat.
Sementara Kedutaan Besar Amerika Serikat menunjukkan paparan PM 2,5 antara 10-194 µg/m3 atau rata-rata tahunan 45,6 µg/m3, yang juga menegaskan kondisi udara Jakarta juga sama, tidak sehat. Bahkan Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) beberapa waktu yang lalu menulis dampak pencemaran udara terhadap kesehatan.
Kualitas Udara Jakarta. Warga melintas di dekat papan Indeks Standar Pencemaran Udara (IPSU) di Kawasan Gelora Bung Karno, Jakata, Kamis (14/3).
Sekjen Komnas HAM ini menyebutkan berbagai penyakit yang bisa ditimbulkan karena kualitas lingkungan yang semakin memburuk. Ia menyebut ISPA, iritasi mata dan kulit, alergi, pneumonia, asma, bronchopneumonia, dan COPD (Chronicle Obstructive Pulmonary Dieses) atau penyempitan saluran pernafasan.
Lalu dapat juga memicu penyakit jantung koroner, kanker, gangguan fungsi ginjal, hingga kematian dini akibat semakin buruknya kualitas udara Jakarta. “Selain kualitas udara tersebut, kondisi media air di Jakarta juga sangat memprihatinkan,” kata Tasdiyanto.
Kajian daya dukung lingkungan yang dilakukan P3E Jawa KLHK tahun 2015 menunjukkan Koefisien Jasa Ekosistem (KJE) penyedia air bersih DKI Jakarta ada pada zona merah (KJE 0,00 – 0,16) yang berarti sangat rendah. Demikian juga daya tampung lingkungan ekosistem pemurnian air (KJE 0,00 – 0,32), tata aliran air dan banjir (KJE 0,00 – 0,27), serta pengolah dan pengurai limbah (0,00-0,22), yang ketiganya juga sangat rendah.
Tasdiyanto menegaskan kondisi media lingkungan hidup itu memberikan indikasi kualitas lingkungan hidup yang tidak sehat di Jakarta. Karena itu menjadi tanggung jawab negara untuk menciptakan kehidupan dengan lingkungan yang baik dan sehat. "Rakyat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan," ujarnya.
Foto aerial kawasan ibu kota negara baru di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Sejak 2010, Tasdiyanto Rohadi dan tim gigih meneliti kualitas lingkungan Pulau Jawa, khususnya Kota Jakarta. Hasil penelitian disimpulkan kualitas lingkungan Jakarta yang sangat memprihatinkan itu telah diseminarkan di salah satu perguruan tinggi di Jakarta pada 2012.
Rekomendasi dari seminar yang digelar kalangan akademisi itu adalah dengan memindahkan Ibu Kota Negara. Ini dinilai sebagai solusi penyelamatan ekosistem sekaligus keputusan realistis. Pulau Jawa dinilai tak lagi memiliki daya tampung dan daya dukung lingkungan memadai.