REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH – Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) Mark Esper melakukan pertemuan dengan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz di Riyadh pada Selasa (22/10). Hubungan bilateral dan isu keamanan serta pertahanan menjadi topik yang mereka bahas.
Menurut laporan Al-Arabiya TV, Raja Salman dan Esper membicarakan tentang aspek-aspek kerja sama strategis kedua negara, termasuk dalam bidang pertahanan. Mereka turut membicarakan tentang perkembangan situasi regional.
Esper juga melakukan pertemuan dengan Putra Mahkota Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS). Dalam cicitan di akun Twitter pribadinya, Esper mengaku melangsungkan pertemuan yang sangat produktif.
“Kami membahas banyak masalah bilateral. Yang paling penting saya ingin memperkuat komitmen AS untuk membantu Arab Saudi mempertahankan dirinya pada saat destabilisasi aktivitas Iran,” ujar Esper.
Hubungan Iran dan Saudi memang kembali memanas sejak dua fasilitas minyak Saudi Aramco diserang pada 14 September lalu. Serangan itu dilancarkan dengan mengerahkan 18 pesawat nirawak dan tujuh rudal jelajah. Sebanyak lima persen produksi minyak dunia dilaporkan terpangkas akibat peristiwa tersebut. Aramco diketahui merupakan perusahaan minyak terbesar di dunia.
AS bersama Inggris, Prancis, dan Jerman menuding Iran sebagai dalang di balik serangan Aramco. Teheran telah membantah tegas tuduhan tersebut. Tudingan terhadap Iran tetap dilayangkan meskipun kelompok pemberontak Houthi Yaman telah mengklaim bertanggung jawab atas insiden Aramco.
Esper tiba di Saudi pada Senin (21/10) yang merupakan pertama kalinya ia mengunjungi negara tersebut. Sebab dia baru menjabat sebagai menteri pertahanan pada Juli lalu. Sebelumnya posisi itu diduduki Jim Mattis.
Sebelum ke Saudi, Esper terlebih dahulu berkunjung ke Afghanistan. Kunjungannya ke sana adalah untuk membahas tentang kelanjutan perundingan perdamaian antara AS dan Taliban.
Negosiasi perdamaian itu terhenti pada September lalu. Presiden AS Donald Trump adalah tokoh yang memerintahkan agar pembicaraan dengan Taliban dihentikan. Keputusan itu diambil setelah Taliban mengaku bertanggung jawab atas serangan bom di Kabul yang menewaskan 12 orang dan satu di antaranya adalah pasukan AS.