REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum dan tata negara Denny Indrayana mengatakan, kebijakan pemindahan ibu kota belum memiliki dasar hukum yang jelas melalui Undang-Undang tentang pemindahan ibu kota.
Menurut Denny, keputusan pemindahan ibu kota akan berbahaya karena belum ada dasar hukum, salah satunya berkaitan dengan penggunaan anggaran.
"Tapi yang pasti ini keputusan politik tapi belum punya dasar hukum yang jelas dan itu berbahaya, harus segera dikeluarkan bentuk dasar hukumnya agar kebijakan presiden memindahkan ibu kota sesuai dengan aturan main," ujar Denny di Universitas Islam As-Syafi'iyah, Bekasi, Selasa (29/10).
Ia menyarankan penyusunan undang-undang tentang pemindahan ibu kota yang menyeluruh. Di antaranya, kata dia, terkait format daerah ibu kota baru itu sendiri.
Pemerintah merencanakan ibu kota baru berada di dua daerah di Kalimantan Timur yakni Penajam Paser Utara dan sebagian Kutai Kartanegara.
"Nanti bagaimana bentuk format pemindahannya itu juga dipikirkan. Apakah dengan dua kabupaten, enggak mungkin dua kabupaten jadi ibu kota negara.
Apakah kabupatennya disatukan jadi satu kabupaten, atau apakah diubah menjadi provinsi, provinsi tersendiri, keluar dari Kalimantan Timur," tutur Denny.
Bisa juga, lanjut dia, ibu kota baru merupakan badan otoritas yang dibawahi langsung oleh presisen semacam Badan Otoritas Batam. Hal itu perlu dikaji secara mendalam dengan kekurangan dan kelebihannya.
Denny mengatakan, sebenarnya hasil kajian yang mendalam sebagai acuan untuk pemindahan ibu kota sudah dituangkan dalam undang-undang. Sehingga, ada kejelasan hukum dalam pemindahan ibu kota ini.