REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Majelis Rakyat Papua (MRP) menolak pembentukan dua provinsi baru di Bumi Cenderawasih. Ketua MRP Timotius Murib menegaskan, penambahan dua wilayah tingkat satu yang baru di Papua, bukan solusi dari persoalan yang dialami rakyat Papua selama ini. Alih-alih menyetujui, Timo mengatakan wacana pembentukan dua provinsi baru akan memicu konflik horizontal antara sesama rakyat yang wilayahnya akan dimekarkan.
“MRP sebagai (lembaga) aspirasi kultural sangat menyesal kalau ini (wacana pemekaran) dipaksakan. Karena hanya akan memakan korban rakyat Papua sendiri. Rakyat Papua yang akan menjadi tumbal. MRP akan menolak. Saat ini, kami dalam posisi menolak,” kata Bapa Timo saat dihubungi Republika dari Jakarta, Selasa (29/10). Menurut Timo, meski belum resmi diputuskan, wacana pemerintah pusat membentuk dua provinsi baru di wilayah paling timur di Indonesia tersebut, cacat prosedural ketatanegaraan.
Timo menerangkan, MRP merupakan lembaga resmi negara yang khusus ada di Papua. MRP punya kewenangan yang mengacu dalam UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Khusus Papua. Dalam beleid tersebut, kata Timo Pasal 76 menebalkan tentang aturan main pemekaran. Ia menerangkan, pemekaran berawal dari ajuan eksekutif di tingkat provinsi dan kabupaten yang disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Ajuan tersebut, pun kata dia, mengharuskan adanya kajian menyangkut tentang kebutuhan rakyat Papua yang wilayahnya akan dimekarkan.
Setelah eksekutif dan DPRP melakukan pembahasan, persetujuan terakhir ada di MRP. Persetujuan MRP itu, pun kata Timo tak asal. Karena mengharuskan MRP memperhatikan aspek kesatuan sosial adat dan budaya suku dan masyarakat, serta kesiapan sumber daya manusia, juga kemampuan perekonomian wilayah baru yang akan dibentuk. Persetujuan dari MRP, akan menjadi rekomendasi utama bagi pusat untuk melakukan pemekaran. “Sampai saat ini rekomendasi dari kami (MRP) tidak pernah ada. Saya pikir pemerintah pusat harus menangguhkan (wacana pemekaran) itu,” sambung Timo.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian pada Selasa (29/10) mengatakan, akan direalisaaikan pembentukan dua provinsi baru. Yakni Provinsi Papua Selatan dan Papua Tengah.
Timo melanjutkan, jika menjadikan situasi keamanan di Papua sebagai alasan melakukan pemekaran, itu tak relevan. Karena menurut Timo, kondisi keamanan di Bumi Cenderawasih, tak mengakar pada tuntutan masyarakat untuk pembelahan sejumlah wilayah menjadi provinsi-provinsi yang baru.
Timo menerangkan, persoalan utama di Papua baru-baru ini, tak lain adalah reaksi memuncak dari rasa ketidakadilan yang masih dirasakan oleh rakyat asli Papua sejak lama. Timo, menegaskan pemerintah pusat, maupun daerah wajib menjawab ketidakadilan yang dirasakan tersebut, dengan jalan memperbaiki kualitas manusia, dan perbaikan penghidupan masyarakat asli Papua.
“Kondisi di Papua saat ini solusinya bukan pemekaran. Kondisi keamanan di Papua saat ini, juga bukan untuk pemekaran provinsi-provinsi baru. Kondisi di Papua saat ini, adalah masalah yang terjadi di akarnya,” sambung Timo. Lebih jauh Timo mengatakan, persoalan akar masalah tersebut terutama dalam pemerataan perekonomian.
Menurut Timo, pemerataan perekonomian di Papua akan membuat rakyat asli merasakan peningkatan kualitas hidup. Pemerataan perekonomian akan membuat rakyat Papua mendapat penghidupan yang layak.
Selanjutnya kata Timo, pemerataan ekonomi di Papua akan membuat rakyat asli, dapat mencecap pendidikan yang layak dan akses kesehatan yang terjamin. “Jadi masalah akar rakyat Papua itu harus diselesaikan dengan cara peningkatan kualitas manusianya supaya mereka bisa kenyang, bisa sehat, bisa pintar. Itu dulu selesaikan. Baru kita pikirkan pemekaran,” sambung Timo.
Jika wacana pemekaran tetap dipaksakan, menurut Timo, hanya akan memunculkan konflik baru di masyarakat asli yang wilayahnya masuk dalam rencana pemekaran. “Rakyat Papua yang akan menjadi korban dan menjadi tumbal pertama jika ini dipaksakan. Itu tidak menguntungkan sebagai rakyat Papua. Kami akan menolak,” ujar Timo.