REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode layak diwaspadai. Sebab, wacana tersebut dapat menjadi ancaman serius dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.
"Itu soal oligarki. Ada wacana presiden tiga periode, itu yang harus diwaspadai," kata pengamat hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (25/11).
Suparji mengatakan wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode melalui amandemen UUD 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI bakal terlaksana jika dibiarkan. Karena itu, suara-suara penolakan terhadap wacana tersebut harus terus digaungkan.
Apalagi saat ini partai politik, DPR RI dan MPR RI sudah seragam, hingga untuk wacana tersebut sangat mudah untuk direalisasikan. "Kalau ternyata diketok di MPR RI, amandemen UUD 45 yang kemudian ada presiden tiga periode dan dipilih MPR itu. Itu bukan ilusi, tantangan yang nyata dan mungkin saja bisa terjadi," kata Suparji.
Suparji menambahkan suara penolakan terhadap masa jabatan presiden tiga periode ini lebih penting dibandingkan rencana pelarangan eks narapidana kasus korupsi menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020, kembali mencuat. Sebab, ia mengatakan, wacana pelarangan yang bakal dituangkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tidak efektif.
Sebelumnya, Suparji mengingatkan, PKPU soal larangan napi korupsi sudah pernah ditolak oleh Mahkamah Agung (MA). Karena itu, jika PKPU tersebut kembali diajukan maka tidak menutup kemungkinan bakal kembali ditolak.
Karena itu, kata Supardi, wacana ini tidak akan menjadi perhatian partai politik. Dia pun menyarankan agar KPU membiarkan rakyat yang melarang mantan napi maju Pilkada.
"Kalau melarang itu ya biar rakyat, siapa rakyat itu? Itu DPR dan pemerintah melalui sebuah UU," tambahnya.
Sebelumnya, Wakil ketua MPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Ahmad Basarah menegaskan hingga saat ini tidak urgensi untuk mengubah ketentuan masa jabatan presiden dalam UUD 1945. Sebaliknya, hal yang diinginkan dan dianggap penting oleh partainya adalah menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
"Tidak ada urgensinya untuk mengubah konstitusi kita yang menyangkut tentang masa jabatan presiden. Mengubah satu pasal ribet sekali. Yang kita harapkan itu menghadirkan kembali GBHN," tegas Basarah di Kompleks Parlemen, Jakarta, beberapa waktu lalu.