REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Mimi Kartika
Draf atau konsep rancangan undang-undang (RUU) Omnibus Law belum juga diserahkan pemerintah ke DPR RI. Padahal, dijadwalkan sebelumnya, DPR akan menerima draf dan surat presiden (surpres) tentang RUU Omnibus Law dari pemerintah pada Senin (3/2).
Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin menyebut, belum ada surpres maupun konsep Omnibus Law apa pun yang masuk per Senin (3/1) sore ini. DPR mengklaim tidak mengetahui alasan pemerintah tak kunjung mengirimkan rancangan Omnibus Law tersebut.
"Belum, belum, belum. Belum masuk suratnya secara resmi ke DPR belum masuk berkenaan dengan Omnibus Law," ujar Azis saat ditemui di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Senin.
Azis tak mau berspekulasi alasan pemerintah belum menyerahkan surpres maupun konsep Omnibus Law tersebut. Sehingga, kata Azis, dirinya belum bisa berbicara lebih lanjut soal bagaimana nantinya Omnibus Law yang akan dibahas.
"Kalau DPR kan harus tertulis lah. Enggak bisa kabar atau katanya-katanya kan. Karena kalau ada tertulis kita bawa ke Bamus (Badan Musyawarah DPR), Bamus baru masuk ke paripurna. Mekanismenya kan di situ kalau kita. Masa saya bawa ke Bamus 'katanya masuk' ya enggak bisa saya ya kan," ujar dia.
Wakil Ketua Komisi IX (Ketengakerjaan) DPR RI Melki Laka Lena sempat menyebut draf Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja akan diterima DPR RI pada Senin (3/2). DPR akan menerima surat présiden (surpres) sekaligus konsep RUU tersebut.
"Saya dengar katanya Senin mau masuk ini, surpresnya masuk beserta bahannya jika tidak ada perubahan lagi," kata Melki dalam sebuah disikusi yang digelar di Menteng, Jakarta Pusat pada Sabtu (1/2).
[video] Apa Itu Omnibus Law?
Dalam diskusi yang sama, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Ristadi menyatakan, serikat pekerja belum dilibatkan dalam proses penyusunan konsep RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Padahal, serikat pekerja dijanjikan untuk dilibatkan dalam pembahasan.
"Belum (ada pelibatan pekerja) sampai hari ini," kata Ristadi.
Ristadi menyebut, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sempat mengundang para serikat pekerja di Kementerian Ketenagakerjaan ihwal penyusun RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Dalam pertemuan itu, pemerintah berjanji bahwa akan ada tim dari serikat pekerja yang akan turut andil dalam penyusunan.
"Kemenaker menyampaikan bahwa Serikat pekerja akan dilibatkan, akan dibentuk sebuah tim untuk membahas di cluster ketenagakerjaan, cuma sampai hari ini kami belum menerima surat lanjutan untuk diminta personelnya atau ketentuan teknis tugas fungsinya soal ini," ujar Ristadi.
Puluhan Serikat Buruh yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) menilai keseluruhan proses penyusunan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja sangat tertutup, tidak demokratis, dan hanya melibatkan pengusaha. Selain itu, mereka juga menilai substansi RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja menyerupai watak pemerintah kolonial Hindia Belanda.
"Konsep sistem ketenagakerjaan dalam RUU Cilaka mirip kondisi perburuhan pada masa kolonial Hindia Belanda," demikian pernyataan FRI yang disampaikan oleh Nining Elitos dari Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dalam keterangan yang diterima Republika.
FRI menilai RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja juga mengembalikan politik pertanahan nasional ke zaman kolonial karena semangatnya sama dengan ketentuan dalam Agrarische Wet 1870. Aturan tersebut berambisi mempermudah pembukaan lahan sebanyak-banyaknya.
"Formalisme hukum yang kuat dalam RUU Cilaka menghidupkan kembali semangat domein verklaring khas aturan kolonial. Masyarakat kehilangan hak partisipasi dan jalur upaya hukum untuk mempertahankan tanah yang mereka kuasai," kata FRI.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menanggapi kecurigaan atas RUU Omnibus Law yang disusun secara sembunyi-sembunyi. Ia membantahnya, karena draf RUU Omnibus Law pun akan harus melalui pembahasan DPR RI bersama pemerintah.
"Kalau Omnibus Law kita proses secara sembunyi-sembunyi, sampai saat ini enggak ada yang tahu bahwa pemerintah menyiapkan Omnibus Law," ujar Airlangga dalam seminar nasional di Wisma Antara, Jakarta, Senin (3/2).
Ia mengatakan, pembentukan undang-undang pasti melibatkan anggota dewan yang merupakan wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum langsung. Dalam pembahasan di DPR, ada Rapat Dengan Pendapat Umum (RDPU) yang akan menampung aspirasi berbagai pihak.
Dengan demikian, setiap fraksi partai di parlemen akan menyusun daftar inventarisasi masalah setelah menerima masukan dari publik. Sehingga, kata Airlangga, pembahasan RUU Omnibus Law dilakukan pemerintah dan DPR.
"Karena kita percaya yang mewakili rakyat ini melalui parlemen, dan sudah ada pemilunya," tutur dia.
Ia mengklaim proses pembahasan RUU Omnibus Law transparan kepada publik termasuk mengumumkan sektor-sektor yang berkaitan. Sehingga, masyarakat dapat bersiap-siap atas adanya perundangan-undangan tentang perekonomian yang disatukan melalui omnibus law itu.
"Tetapi tentu yang bisa melakukan legal traffic terbatas, kalau yang pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM, kalau DPR melalui Baleg (Badan Legislatif) dan dengan ininya," lanjut Airlangga.
Ia menambahkan, kajian akademis terhadap draf RUU Omnibus Law melibatkan kalangan akademis dari perguruan tinggi dan pemerintah sudah melakukan sinkronisasi dengan 31 kementerian dan lembaga. Pemerintah telah menyiapkan kajian akademisnya sekitar 2.500 halaman.
Sementara draf RUU Omnibus Law jumlahnya sekitar 170 pasal yang terdiri dari 15 BAB. "Jadi undang-undangnya sendiri tidak setebal mungkin undang-undang lain di sektor perekonomian," tutur dia.
Ada empat perundangan-undangan dengan Omnibus Law akan masuk dalam prolegnas prioritas 2020. Yakni, RUU tentang Ibu Kota Negara, RUU tentang Kefarmasian, RUU tentang Cipta Lapangan Kerja, dan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.
Kontroversi RUU Omnibus Law