Selasa 18 Feb 2020 20:02 WIB

Tekan Dampak Corona, Begini Strategi Pemerintah

Pemerintah akan beri diskon pada wisatawan dan relaksasi dokumen dunia usaha.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
Ekspor (ilustrasi)
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Ekspor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan, pemerintah sedang melakukan kajian berbagai opsi untuk dapat meminimalkan dampak negatif penyebaran virus corona terhadap ekonomi Indonesia. Khususnya dalam rangka mempertahankan konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi komponen pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar.

Salah satu rencana kebijakan yang disebutkan Sri adalah pemberian diskon bagi wisatawan mancanegara maupun domstik. Rencana ini sesuai dengan arahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). "Diskon terhadap wisatawan untuk daerah-daerah yang terkena dampak langsug karena wisatawan turun sangat drastis," katanya ketika ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (18/2).

Baca Juga

Kajian itu tidak semata membicarakan dampak virus corona, juga dampak perekonomian global. Sebab, epidemik virus corona yang dimulai dari Wuhan, China, ini diproyeksikan akan menekan perdagangan maupun ekonomi makro sejumlah negara. Terutama negara-negara mitra dagang China.

Selain itu, Sri menambahkan, pemerintah juga tengah melihat komposisi ruang fiskal yang dapat dimanfaatkan menjadi stimulus ekonomi nasional. Misal, melalui program bantuan sosial (bansos) untuk meningkatkan daya beli masyarakat kelas bawah. "Kita masih bahas dalam pemerintahan ini," tutur mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.

Tidak hanya dari konsumsi rumah tangga, pemerintah juga memberikan stimulus pada perdagangan. Salah satunya, memberikan relaksasi dokumen kepada dunia usaha yang membutuhkan impor produk dari China.

Relaksasi itu berupa kemudahan penyerahan Surat Keterangan Asal (SKA) Form E. Dokumen ini merupakan salah satu syarat impor, terutama bagi pihak yang ingin memanfaatkan tarif preferensi ASEAN-China Free Trade Agreement (FTA). Kebijakan ini resmi diberlakukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) per Senin (17/2) melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Bea Cukai nomor SE-02/BC/2020.

Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Bea Cukai Syarif Hidayat mengungkapkan, pemanfaatan tarif preferensi kesepakatan ASEAN-China Free Trade Agreement (FTA) kini mengalami hambatan. Tepatnya, setelah World Health Organization (WHO) umumkan darurat global virus corona pada akhir Januari.

Sejak saat itu, banyak negara menutup penerbangan sementara dari China. Akibatnya, terjadi kendala administrasi dalam proses pengiriman SKA Form E ke negara tujuan, termasuk China.

Padahal, penyerahan lembar asli SKA Form E merupakan syarat klaim tarif preferensi. Hal ini sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 124 Nomor 2019 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional.

Berangkat dari kondisi tersebut, Syarif mengatakan, pemerintah Indonesia melakukan relaksasi yakni importir dapat menggunakan copy/scan dokumen untuk klaim tarif preferensi sebagai pengganti sementara lembar asli. "Ini terhitung untuk SKA yang diterbitkan mulai 30 Januari 2020," tuturnya dalam siaran pers.

Selain importir, pihak yang bisa memanfaatkan relaksasi adalah penyelenggara/pengusaha Tempat Penimbunan Berikat (TPB), penyelenggara /pengusaha Pusat Logistik Berikat (PLB), atau pengusaha di Kawasan Bebas.

Tapi, Syarif menambahkan, untuk dapat memanfaatkan relaksasi ini, barang yang diimpor harus memenuhi Ketentuan Asal Barang. Selain itu, lembar asli SKA Form E sendiri wajib diserahkan oleh importir kepada Kantor Bea Cukai tempat melakukan importasi dalam jangka waktu 90 hari kalender sejak mendapatkan nomor pendaftaran dokumen impor. Data tersebut akan diverifikasi oleh Bea Cukai dengan mengkonfirmasi copy/scan SKA Form E kepada China Customs.

Apabila ditemukan ketidaksesuaian, maka SKA Form E ditolak dan tarif preferensi tidak dapat diberikan. Ada empat ketidaksesuaian yang dimaksud Syarif. Pertama, barang yang diimpor tidak memenuhi Ketentuan Asal Barang. Kedua, importir/pengusaha tidak menyerahkan surat pernyataan.

Ketiga, lembar asli SKA Form E tidak diserahkan dalam jangka waktu yang ditetapkan. Keempat, hasil konfirmasi SKA Form E dinyatakan tidak valid.

Untuk selanjutnya mekanisme penagihan kekurangan bea masuk akan mengacu pada pasal 16 dan/atau pasal 17 UU Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah UU Nomor 17 Tahun 2006.

Terhadap penetapan atas penelitian SKA Form E yang telah dilakukan sejak tanggal 30 Januari 2020, importir dapat mengajukan keberatan dan banding. "Selain itu, importir juga bisa melakukan pembetulan surat penetapan tagihan atas kekurangan pembayaran bea masuk," ujar Syarif.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement