Kamis 27 Feb 2020 16:22 WIB

Salah Kaprah Memahami Kemiskinan

Program pemberdayaan tidak cuma mendorong perubahan sosial dan ekonomi semata.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
 Seminar Nasional Pra-Muktamar Kemandirian Ekonomi Berbasis Filantropi: Ekosistem Filantropi dan Arsitektur Ekonomi Muhammadiyah di Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Foto: Wahyu Suryana.
Seminar Nasional Pra-Muktamar Kemandirian Ekonomi Berbasis Filantropi: Ekosistem Filantropi dan Arsitektur Ekonomi Muhammadiyah di Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ada filosofi salah yang berkembang di Indonesia. Bunyinya adalah begini: orang miskin di perdesaan membutuhkan filantropi. Padahal tidak menjadi masalah menjadi orang miskin tinggal di perdesaan asalkan dia masih produktif.

Masih adanya filosofi yang salah kaprah itu disampaikan Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Industri Perdesaan Komite Ekonomi dan Industri Nasio­nal (KEIN), Dr Aries Muftie, dalam seminar di Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu (15/2).

Aries kemudian memberi contoh Negeri Ginseng. Menurutnya Korea Selatan (Korsel) menjadi contoh yang baik mengatasi persoalan kemiskinan di perdesaan, bahkan negara tersebut oleh PBB masuk dalam 17 SDGs (pem­bangunan berkelanjutan). Uniknya, ia menemukan, kunci sukses merubah Korea Selatan sama dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW.

"Perubahan itu mereka mulai dari bina karakter dan insani, revolusi mental, yang dalam Islam imaratul masajid," katanya.

Kemudian, bina saudara dan institusi atau ukhuwah Islamiyah, bina strategi dan teknologi seperti dalam Piagam Madinah. Kemudian bina dana dan investasi atau baitul maal wa tamwil, dan bina pasar dan industri atau suuq Madinah.

Pada masa krisis, seperti Indo­nesia, Korsel juga meminjam ke IMF. Hanya bedanya, Korsel mampu mengembalikan dalam tempo 1,5 tahun dengan membangun investasi dari dalam.

Pengamat perzakatan UIN Syarif Hidayatullah, Prof Amelia Fauzia menekankan, pemerintah, LSM, ormas, dan kampus harus memberi intervensi pemberdayaan ekonomi kepada masyarakat yang kurang berdaya. Tujuannya, tidak lain kesejahteraan.

Riset kepercayaan yang mereka lakukan memang menemukan jika pemberdayaan ekonomi sudah banyak dilakukan hampir semua institusi. Sayangnya, banyak program yang tidak berkelanjutan dan sangat kurang kolaborasi.

"Tapi, dari bidang UMKM yang rata-rata dilakukan perempuan, belakangan mulai berkembang mompreneur yang dilakukan emak-emak," kata Amelia.

Ia menerangkan, pengembangan ini tidak cuma mendorong sisi kemajuan ekonomi, tapi miliki usaha moderasi beragama. Ini dirasa baik karena program-program pemberdayaan ekonomi tidak cuma mendorong perubahan sosial dan ekonomi semata.

Hari ini, banyak yang sudah mulai beranjak menyadari derma saja tidak cukup. Sehingga, kata Amelia, banyak lembaga yang munculkan gerakan-gerakan advokasi dan filantropi yang berbasis keadilan sosial.

"Jadi, tidak cuma fokus mengintervensi dampak kemiskinan, tapi mengintervensi akar masalah kemiskinan itu sendiri," ujar Amelia.

Dosen Fakultas Ekonomi Univer­sitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr Lilies Setiartiti, mengingatkan amanah yang tertera di alinea ke­empat Pembukaan UUD 1945. Yaitu, kewajiban negara melindungi warganya.

 

Menurutnya, sejumlah masalah kemiskinan masih menghantui Indonesia. Mengutip laporan Bank Dunia,  orang miskin dan rentan miskin di Indonesia mencapai 115 juta, sedang versi  BPS hanya sekitar 25 juta. Selain itu ada sembilan juta anak stunting.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement