REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua, menyebutkan, lembaga antikorupsi di beberapa negara memiliki dewan pengawas (dewas). Namun, dewas itu tidak memberikan izin menyidik, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan seperti di Indonesia.
"Beberapa KPK di luar negeri ada dewas. Kita kenal seperti di Hong Kong. Tapi, dewas tidak memberikan izin menyidik atau penggeledahan atau penyitaan atau penyadapan," ujar Abdullah sebagai ahli pemohon di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Rabu (4/3).
Menurut Abdullah, penyidikan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan di sana merupakan hak dari pimpinan itu sendiri. Sebelum ada Dewas KPK, hal itu sudah berjalan secara natural sejak dari pembangunan kasus hingga ke pengadilan.
"Di KPK ini berjalan secara natural mulai dari pembangunan kasus. Ketika kasus penyelidikan, di mana di sana ada penyelidik, penyidik, ada jaksa penuntut umum," katanya.
Ia mengatakan, pelibatan JPU dalam proses penyelidikan dilakukan karena JPU-lah yang bertarung di lapangan. Hasilnya, kata dia, terbukti dengan hampir 99 persen terdakwa kasus tindak pidana korupsi yang dibawa ke pengadilan oleh KPK dinyatakan bersalah.
Abdullah juga menyebutkan, apa yang telah dilakukan oleh Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM) KPK selama ini sudah berjalan dengan konkret, efektif, dan efisien. Ia mengambil contoh ketika ia masih berada di KPK.
Menurut dia, selama ia delapan tahun berada di KPK, terdapat 10 pelanggaran kode etik yang disidangkan. Terdapat tiga komite etik yang menyidangkan pelanggaran kode etik yang dilakukan pimpinan KPK.
"Di KPK, pimpinan KPK diperiksa oleh pengawasan internal atas instruksi dari Deputi PIPM. Oleh karena itu, proses itu berjalan sebagaimana mestinya," kata dia.