Kamis 26 Mar 2020 00:35 WIB

Curhatan Perawat, Putus ASI, Hingga Terima Stigma Negatif

Memutus ASI pada bayinya jadi yang paling berat. Ada perang batin dalam diri.

Rep: Rizky Suryarandika / Red: Agus Yulianto
Seorang perawat mengecek kondisi pasien yang terjangkit virus corona.
Foto: Chinatopix via AP
Seorang perawat mengecek kondisi pasien yang terjangkit virus corona.

REPUBLIKA.CO.ID, Bekerja sebagai perawat di tengah pandemi virus corona bukan hal mudah. Petugas medis bertaruh nyawa merawat pasien corona yang belum ada obatnya. Keluh kesah mereka patut didengar sebagai gambaran beratnya beban yang mesti dipikul.

Adalah Mawar, salah satu perawat di rumah sakit rujukan corona di Jakarta yang diwawancarai Republika pada Rabu, (23/3). Mawar meminta, identitasnya dirahasiakan atas berbagai pertimbangan.

Mawar menceritakan, keresahan merawat pasien corona wajar dirasakannya dan rekan seprofesinya. Beruntung, Alat Pelindung Diri (APD) di rumah sakit tempatnya bekerja selalu tersedia, walau pas-pasan. Pihak RS selalu bisa mencukupi kebutuhan APD lewat kerja sama dengan berbagai pihak.

Kekurangan justru terasa pada kebutuhan desinfektan. Sejumlah vendor mulai kehabisan stok hingga RS Mawar hanya mengandalkan stok sisa di gudang.

Kelangkaan desinfektan membuat pusing petugas medis. Mawar kecewa dengan ulah sebagian masyarakat yang berpikir instan lalu mengambil cairan hand-sanitizer milik RS. Padahal, petugas medis amat membutuhkannya agar tak tertular corona usai melakukan perawatan.

"Sebenarnya hand-sanitizer idealnya disediakan rumah sakit di banyak titik, tapi terpaksa dicabut karena malah diambil oleh masyarakat," keluh Mawar saat berbincang dengan Republika, Rabu (25/3).

Sebagai ibu menyusui, Mawar beruntung karena tak kebagian merawat pasien positif corona. Ia masih ditugasi untuk Pasien Dalam Pengawasan (PDP) saja. Perawat yang ditugasi ke pasien positif biasanya pria atau yang lebih senior.

Namun, Mawar tak tahu keberuntungannya bertahan sampai kapan. Kasus corona terus melonjak hingga nyaris menyentuh 700 orang di Tanah Air hari ini. Pada satu titik, tenaganya akan dibutuhkan merawat pasien positif.

Mawar membeberkan, RS-nya bakal menerapkan kebijakan tempat tinggal khusus petugas medis paling cepat mulai Kamis ini. Rencananya, petugas medis tak lagi diizinkan pulang demi mencegah penularan corona di lingkungannya.

"Nanti termasuk tempat tinggal dan transportasi dari dan ke rumah sakit akan disiapkan, kami juga disediakan desinfektan sebelum dan setelah dari RS," ujar Mawar.

Kesedihan Mawar berlipat ganda manakala mesti berpisah dari suami dan bayinya jika resmi tinggal di mess. Otomatis, program Air Susu Ibu (ASI) yang coba diterapkan Mawar selama dua tahun akan diputus. Bayi Mawar mau tak mau harus mengandalkan susu formula.

"Anak saya nangis terus beberapa hari ini mungkin tahu ibunya bakal pergi perang," ungkapnya.

Di antara semua perasaan yang hinggap di benaknya, Mawar menganggap memutus ASI pada bayinya jadi yang paling berat.

"Ada perang batin dalam diri saya untuk terus bertugas ketika anak masih bayi begini," ujarnya.

Walau begitu, Mawar tetap berusaha memetik hikmah. Momen pandemi dianggap kesempatan pengabdian petugas medis. Mawar berupaya tegar menghadapi masa-masa sulit sebagai perawat di kala pandemi.

Ketegaran Mawar juga diupayakan oleh seluruh petugas medis di RS-nya. Mereka saling menyemangati satu sama lain agar tak jatuh dalam lubang stres.

Dalam video yang beredar awal tahun lalu, petugas medis di Wuhan, Tiongkok ada yang mengalami stres berat. Sebagian menangis seolah meratapi nasib apes merawat pasien corona. Kondisi semacam itu yang coba dihindari Mawar dan rekan sejawatnya.

"Buat apa kita jadi perawat kalau tidak berani mengobati yang sakit corona. Harus tetap berani sambil waspada biar tidak ketularan," tuturnya.

Mawar hanya berpesan pada masyarakat agar tidak menghakimi petugas medis sebagai pembawa virus. Sebab, ia menyayangkan, ada petugas medis yang mengalami perundungan hingga pengusiran karena bekerja di RS rujukan corona.

Mawar sendiri selalu mendapat dukungan keluarga dan lingkungannya ketika menjalankan tugas. Ia beruntung, bukan jadi bagian yang mengalami hal tak mengenakan sebagai perawat pasien corona.

"Alhamdulilah tetangga saya enggak rese, mereka tetap support dan enggak bully," sebutnya.

Sayangnya, Mawar mengetahui, bahwa rekannya di RS Penyakit Infeksi Sulianti Saroso mendapat stigma negatif. Rekan Mawar nyaris saja diusir dari kontrakannya bersama suami karena dianggap pembawa virus. Rekan Mawar akhirnya harus melakukan klarifikasi di hadapan warga RT setempat.

"Dia dirumahkan sementara, lalu warga sekitarnya resah. Dia harus menjelaskan kalau statusnya ODP, dari situ baru warga bisa menerima,” bebernya.

Cerita Mawar hanya satu dari sekian banyak air mata dan keringat yang tumpah dari tim medis perawat corona se-Indonesia. Mereka pantas dihormati layaknya pahlawan. Mereka perang dengan lawan yang tak terlihat dan belum bisa dikalahkan. Semoga saja jerih payah mereka mendapat ganjaran terbaik. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement