Perbedaan seorang entrepreneur dengan orang biasa adalah dalam hal kemampuan mencium peluang dan mengeksekusinya. Itulah yang terdapat pada diri Jimmy Halim.
Tahun 2008, setelah menyaksikan tayangan Discovery Channel tentang pemanasan global dan ketahanan pangan, tebersit dalam benaknya untuk mengembangkan urban farming dengan teknik hidroponik. Metode ini dikenal cocok dengan lahan perkotaan yang kian terbatas dan kondisi alam yang makin tidak mendukung, sekaligus salah satu solusi mewujudkan keberlanjutan pangan.
Saat itu, Jimmy masih menjalankan bisnis bingkai foto. Sebelumnya, dia pernah meminta anak buahnya coba-coba menanam cabai di lahan kosong, tetapi gagal. Begitu terpikir tentang pertanian hidroponik, dia pun mencari tahu secara otodidak. Buku-buku dilahapnya. Berbagai pelatihan hidroponik disambanginya. Bendera Jirifarm pun dikibarkan dalam naungan PT Curug Lestarimaju.
Akhirnya, setelah melakukan sejumlah percobaan, Jimmy memetik hasilnya. Panen sayurannya bagus, bahkan melimpah, membuatnya memutuskan untuk menawarkannya ke toko-toko buah dengan sistem konsinyasi.
Siapa nyana, perlahan tapi pasti, sejumlah orang pun datang. Mereka bukan hanya membeli sayuran dan alat-alat hidroponik, tetapi juga mencari tahu sekaligus belajar tentang metode pertanian ini. Dan dengan senang hati, Jimmy menjelaskannya. Misalnya, dalam menerapkan pertanian hidroponik, untuk ukuran satu meter persegi, jika menggunakan besi kavadis kira-kira dibutuhkan sekitar Rp 1 juta, dan kalau menggunakan bambu akan jauh lebih murah.
Berangkat dari nol, Jirifarm terus berkembang. Untuk penjualan sayuran, saat ini mereka sudah bekerjasama dengan All Fresh dan Jakarta Food. Ada pula yang membeli curah untuk dijual kembali dengan merek sendiri.
Dengan luas kebun aktif saat ini sekitar 1.500 m2 dengan 120 ribu lubang tanam, Jirifarm mampu memproduksi rata-rata 3,5-4 ton sayuran per bulan. Harga jualnya bervariasi, mulai dari Rp 8 ribu per ikat (200-250 gram) atau 1 kg sekitar Rp 32 ribu. “Tetapi, saya rasa harganya ke depan akan lebih tinggi lagi karena semakin lama lahan pertanian semakin berkurang,” ujar Jimmy. Ia menambahkan, “Kami tiap hari panen dan setiap hari tanam. Mayoritas bayam, pokcoy, caisim, kaylan, kangkung, dan selada.”
Pada penjualan perlengkapan hidroponik, rentang harganya dari Rp 100 ribu bagi yang belajar sampai Rp 20an juta untuk satu paket sistem urban farming perumahan. Tidak hanya menjual peralatan, Jirifarm juga menjual nutrisi dan bahan pendukung lainnya. “Jadi, seperti one stop shopping, dari mau beli hingga jadi kebun kami semua sediakan,” katanya.
Melihat perkembangan yang ada, Jimmy kian yakin akan potensi bisnis hidroponik. Jumlah penduduk yang meningkat di tengah lahan pertanian yang makin berkurang, membutuhkan teknik semacam hidroponik. Terlebih, faktor cuaca yang tidak menentu. Apa pun cuacanya, hidroponik dalam green house tetap produktif, bahkan hingga 2-3 kali lipat.
Dalam urusan pemasaran, Jirifarm kini menjual dari Sabang sampai Merauke. Upaya penjualan yang awalnya dari mulut ke mulut, sekarang sudah melalui e-commerce. Selain itu, mereka juga terus berinovasi pada peralatan sehingga dalam lahan satu meter persegi memungkinkan jumlah lubang tanamnya semakin banyak. Bahkan, saat ini Jimmy sedang merancang paket 2.000 ribu lubang tanam, 5.000 lubang tanam, dan 10 ribu lubang tanam.
“Banyak masyarakat berpikir kalau membuat sendiri akan jauh lebih murah. Tetapi dalam prosesnya, justru biayanya lebih mahal. Jadi, untuk perluasan pemasaran, tetap nomor satu adalah edukasi melalui pelatihan,” kata Jimmy menegaskan. Terkait pelatihan tersebut, Jirifarm kini rutin masuk ke sekolah dan universitas. Jirifarm bekerjasama dengan kalangan korporasi untuk pelatihan para pensiunan. Juga bekerjasama dengan pemerintah, dalam hal ini dinas pertanian atau pemerintah daerah, untuk memberikan pelatihan kepada petani.
Sementara pertanian hidroponik terus melangkah maju, Jimmy mengaku melihat tren masyarakat tengah menggemari sayuran organik. Menyikapi hal itu, Jirifarm pun mengembangkan akuaponik. Sebuah sistem budidaya ikan (akuakultur) dan tanaman (hidroponik) dalam ekosistem yang resirkulasi, menggunakan bakteri alami untuk mengubah kotoran dan sisa pakan ikan menjadi nutrisi tanaman. Potensi pasar ini pun menarik untuk diterjuni secara serius. (*)
Yosa Maulana & Sri Niken Handayani