Rabu 22 Apr 2020 22:28 WIB

Musisi Ahmad Dhani Komentari Asimilasi Napi di Tengah Wabah

Ahmad Dhani menilai kapasitas berlebihan napi di sejumlah lapas.

Ahmad Dhani menilai kapasitas berlebihan napi di sejumlah lapas.
Foto: Antara/Ali Masduki
Ahmad Dhani menilai kapasitas berlebihan napi di sejumlah lapas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pentolan grup musik Dewa yang juga politikus, Ahmad Dhani, tidak keberatan dan mendukung program asimilasi yang dicetuskan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly di tengah pandemi Covid 19. 

"Saya pernah mendapatkan perlakuan 'khusus' oleh Yasona sebagai tahanan politik. Tapi itu tidak mengaburkan objektivitas saya sebagai manusia yang berakal sehat dalam berasumsi. Saya mungkin masih sakit hati, tapi keputusan untuk melepas 30 ribu napi itu adalah keputusan yang tepat," kata Dhani, Rabu (22/4).

Baca Juga

Musisi yang pernah terjerat kasus ITE ini, mengatakan ada beberapa alasan dirinya mendukung pembebasan napi terkait asimilasi dan integrasi pemerintah. Pertama, rutan dan lapas sudah over kapasitas, 300 sampai 400 persen. "Jadi tidak mungkin diberlakukan social distancing di lokasi yang over capacity dan penuh sesak itu," ujar Dhani. 

Faktor lain yang didukung Dhani, adalah masalah penanganan kesehatan di rutan dan lapas tidak seperti di rumah sakit biasa yang tidak butuh birokrasi. Terlebih, didalam lapas atau rutan itu sendiri, dihuni ribuan orang dengan berbagai jenis penyakit. "Jadi tahanan atau napi yang sakit asam lambung saja bisa tewas seketika hanya karena sibuk urus birokrasi dulu," ungkapnya.

Suami Mulan Jameela ini juga meminta kepada Menteri Yasonna untuk melepas semua tahanan narkoba yang terbukti hanya pemakai. Menurutnya, mereka harusnya direhab, bukan di penjara karena akan menambah sesak rutan dan lapas. "Apalagi selama ini isi dari hampir semua penjara yang ada kebanyakan adalah para pemakai narkoba, harusnya mereka di rehab saja," tuturnya.

Terkait mantan napi yang kembali berulah setelah keluar penjara, Ahmad Dhani menilai itu hanya margin of error yang berkisar 1 persen sampai 2 persen. Dan bila ada 300 sampai 600 napi melakukan kejahatan kembali, itu wajar-wajar saja dalam ilmu statistik. "Tapi saya yakin 98 persen napi yang bebas itu lebih banyak manfaatnya untuk pandemi dari pada 98 persen dari mereka itu ada di dalam penjara," ucapnya. 

Sebelumnya, pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah meminta Menteri Hukum dan HAM, Yassona H Laoly untuk melanjutkan program asimilasi dan integraai yang selama ini berjalan. Pasalnya, tindak kejahatan yang selama ini ada, tidak bisa dikaitkan dengan pembebasan 30 ribu narapidana yang telah bebas.

"Kejahatan memang ada, namun tidak bisa dikaitkan dengan program asimilasi, apalagi kejatahan yang selama ini terjadi tidak sampai satu persen dan tidak tercipta dari para narapidana yang mendapat pembebasan lebih dulu," kata Trubus, Selasa (21/4).

Dikatakan Trubus, meski para napi tidak dikeluarkan, kejahatan sudah merajalela, dan persoalan yang harus dipisahkan antara penegakan hukum atau law enforcement dengan kriminalitas. Karana masalah itu muncul karena pengaruh dari tingkat kemiskinan.

"Apalagi di tengah pandemi Covid 19 ini, banyak orang di PHK, dirumahkan, belum lagi terdampak lain seperti fakir miskin, berpenghasilan rendah, masyarakat rentan, semua terdampak," ujarnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement