Selasa 28 Apr 2020 05:21 WIB

Apindo Soroti Pembahasan RUU Cipta Kerja tanpa Klaster Naker

Pasca-pandemi diperlukan penciptaan lapangan kerja masif untuk menyerap korban PHK

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani.

REPUBLIKA.CO.ID,

JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyoroti penundaan pembahasan kluster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja. RUU Cipta Kerja telah diputuskan baik oleh pemerintah maupun DPR.

Baca Juga

"Apindo memandang bahwa penundaan pembahasan kluster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja tidak berarti pembatalan kluster Ketenagakerjaan dalam Omnibus Law," kata pernyataan Apindo yang ditandatangani antara lain oleh Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani yang diterima di Jakarta, Senin (27/4).

Ia mengemukakan bahwa kondisi pandemi Covid-19 mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan merumahkan pekerja dalam jumlah yang sangat besar saat ini, bahkan diperkirakan akan terus meningkat sampai dengan akhir tahun 2020.

Hal tersebut, lanjut dia, semestinya memacu semua pihak untuk membahas Omnibus Law termasuk kluster ketenagakerjaan secara lebih intensif mengingat pasca-pandemi diperlukan penciptaan lapangan kerja masif untuk menyerap korban PHK maupun tenaga kerja baru.

"Apindo menyampaikan pendapat bahwa tanpa kluster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja akan menyebabkan semakin kecil peluang untuk menarik investasi padat karya yang masih sangat diperlukan Indonesia, mengingat kualitas SDM yang ada dan tingkat pengangguran terbuka yang masih tinggi tinggi yaitu 7 juta orang, belum termasuk setengah pengangguran yang bekerja hanya beberapa jam seminggu," paparnya.

Pembahasan RUU Cipta Kerja tanpa kluster ketenagakerjaan dinilai Apindo hanya akan menarik industri padat modal yang tidak banyak menyerap tenaga kerja sebagaimana terlihat dari data BKPM, di mana investasi naik namun penciptaan tenaga kerja justru turun dalam beberapa tahun terakhir.

Dengan demikian, lanjutnya, dapat dilihat bahwa investasi yang masuk mayoritas industri padat modal yang memerlukan pekerja dengan tingkat keahlian yang tinggi, sehingga pencari kerja dengan tingkat keahlian rendah yang masih merupakan mayoritas pencari kerja akan sulit mendapatkan pekerjaan.

"Kondisi penyerapan tenaga kerja yang terus semakin menyusut mengakibatkan kesejahteraan dan kemampuan keuangan masyarakat semakin melemah, hal ini dapat dilihat pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial 2019 yaitu penerima subsidi yaitu pelanggan listrik 98,6 juta orang serta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan 96,8 juta orang." paparnya.

Menurut dia, bila hal ini dibiarkan terus maka Indonesia tidak akan menikmati bonus demografi, namun malah akan menghadapi beban demografi, karena rakyatnya tidak memiliki kesempatan untuk bekerja di sektor formal.

Selain itu dengan pembahasan RUU Cipta Kerja tanpa kluster ketenagakerjaan juga dicemaskan bakal membuat perusahaan padat karya saat ini dan mendatang akan terus disibukkan dengan perselisihan ketenagakerjaan antara manajemen yang berhadapan dengan pekerja dan pemerintah dalam menegosiasikan upah yang melampaui kemampuannya untuk membayar sehingga usaha berlangsung tidak produktif.

Apindo juga menilai bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja tanpa kluster ketenagakerjaan tidak bisa memenuhi kebutuhan jenis jenis pekerjaan di masa depan yang memerlukan fleksibiltas waktu kerja berbasis mingguan, harian bahkan per-jam yang semakin meningkat seiring dengan meningkatnya permanent part-timer dimana seorang pekerja bekerja di lebih dari satu badan usaha di waktu yang sama sebagaimana terjadi di era Industri 4.0.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement