Selasa 02 Jun 2020 18:29 WIB

Klaim Pelemahan Covid-19 dan Kewaspadaan Gelombang Kedua

WHO nilai dunia saat ini masih berada dalam gelombang pertama wabah Covid-19,

Penumpang duduk di dalam kereta di New Delhi, India, Senin (1/6). India mengalami lonjakan kasus di saat akan melakukan pelonggaran karantina bertahap. WHO ingatkan dunia bahwa gelombang kedua Covid-19 sangat mungkin terjadi.
Foto: EPA
Penumpang duduk di dalam kereta di New Delhi, India, Senin (1/6). India mengalami lonjakan kasus di saat akan melakukan pelonggaran karantina bertahap. WHO ingatkan dunia bahwa gelombang kedua Covid-19 sangat mungkin terjadi.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Puti Almas, Fergi Nadira

Hidup dalam bayang-bayang virus corona jenis baru atau Covid-19 terjadi di seluruh belahan dunia. Termasuk di negara-negara yang kurva pandeminya telah menurun drastis. Hidup berdamai dengan corona bukan berarti manusia sudah berhasil mengalahkan virus tersebut.

Baca Juga

Sejumlah pakar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan tidak ada bukti yang mendukung pernyataan bahwa infeksi virus corona jenis baru (Covid-19) yang menjadi pandemi saat ini telah kehilangan potensinya. Pernyataan ini membantah klaim dari seorang dokter asal Italia bernama Alberto Zangrillo.

Pada Ahad (31/5) lalu, Zangrillo yang merupakan kepala di unit perawatan intensif Rumah Sakit San Raffaele di Lombardy, Italia mengatakan Covid-19 secara klinis tidak lagi ada. Namun, ahli epidemiologi WHO, Maria Van Kerkhove dan beberapa ilmuwan virus dan penyakit menular lainnya mengatakan bahwa klaim ini tidak didukung dengan bukti ilmiah.

Tidak ada data yang menunjukkan bahwa Covid-19 telah berubah secara signifkan. Termasuk dalam bentuk penularan serta tingkat keparahan penyakit yang ditimbulkan.

"Dalam hal penularan, itu tidak berubah dan dalam hal kearahan itu juga demikian," ujar Kerkhove seperti dilansir The National, Selasa (2/6).

Kerkhove juga menggarisbawahi lazim bagi sebuah virus untuk bermutasi dan beradaptasi saat menyebar. Sejauh ini, di seluruh dunia terdapat 6,38 juta kasus Covid-19 dan 377.797 kematian.

Martin Hibberd, seorang profesor penyakit menular yang muncul di London School of Hygiene & Tropical Medicine, mengatakan penelitian besar yang melihat perubahan genetik pada virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan infeksi penyakit Covid-19. Hasilnya tidak mendukung gagasan bahwa infeksi virus telah berkurang dengan signifikan atau melemah dengan cara apapun.

"Dengan data dari lebih dari 35.000 genom virus, saat ini tidak ada bukti bahwa ada perbedaan signifikan terkait dengan tingkat keparahan," jelas Hibberd.

Zangrillo, yang terkenal di Italia sebagai dokter pribadi mantan Perdana Menteri Silvio Berlusconi, mengatakan komentarnya didukung oleh penelitian yang dilakukan ilmuwan bernama Massimo Clementi. Ia menegaskan bahwa virus tidak berubah, amun interaksi antara virus dan tuan rumah telah benar-benar berubah.

Lebih lanjut, Zangrillo mengatakan penyebabnya adalah karakteristik virus yang berbeda, yang menurutnya belum diidentifikasi atau karakteristik berbeda pada mereka yang terinfeksi. Penelitian oleh Clementi, seorang direktur laboratorium mikrobiologi dan virologi San Raffaele, membandingkan sampel virus dari pasien Covid-19 di rumah sakit yang berbasis di Milan pada Maret dengan sampel dari pasien pada Mei.

“Hasilnya jelas, perbedaan yang sangat signifikan antara viral load pasien yang dirawat di bulan Maret dibandingkan dengan yang dirawat bulan lalu," jelas Zangrillo.

Oscar MacLean dari Pusat Penelitian Virus Universitas Glasgow mengatakan klaim Covid-19 melemah tidak didukung literatur ilmiah. Ia juga menggarisbawahi bahwa itu tidak masuk akal dengan alasan genetik.

Para ahli dan perwakilan dari Universitas Johns Hopkins, Pusat Medis Wake Forest Baptist, Universitas George Washington dan Northwell Health juga mengatakan mereka tidak mengetahui bukti yang menunjukkan bahwa virus corona jenis baru telah berubah Bahkan, klaim dari Zangrillo dapat berbahaya karena dianggap menyesatkan.

"Saran dari dokter Italia berpotensi berbahaya karena memberikan jaminan palsu karena tidak ada bukti ilmiah untuk adanya perubahan pada Covid-19. Ini adalah penyakit yang sangat mudah menular dan sangat, kita tetap harus berjaga,"  ujar Leana Wen.

Gelombang kedua yang muncul akibat pelonggaran karantina atau lockdown tetap harus diwaspadai. Kasus kemungkinan gelombang kedua ini pasalnya tercatat terjadi di beberapa negara setelah kebijakan pelonggaran dilakukan.

Misalnya India yang mencatat rekor lonjakan kasus harian Covid-19 tertinggi sebanyak 8.392, Selasa (2/6). Kenaikan ini terjadi di saat negara tengah memulai pelonggaran pembatasan secara bertahap.

Perdana Menteri India Narendra Modi, mengatakan prioritas utama negara adalah memperkuat ekonomi di tengah perjuangan melawan virus. "Kami pasti akan mendapatkan pertumbuhan ekonomi kami kembali. India akan mendapatkan pertumbuhannya kembali," ujar Modi dalam konferensi daring Konfederasi Industri India, dikutip BBC.

Semakin banyak bisnis yang mulai membuka di seluruh India. Ekonomi akan perlahan-lahan dibuka dari salah satu penutupan paling keras di dunia. Ditegakkan pada bulan Maret, pembatasan ketat menekan ekonomi karena industri ditutup.

Pelonggaran pembatasan telah dimulai. Stasiun kereta sudah banyak yang dibuka. Mulai dari 8 Juni, restoran, hotel, pusat perbelanjaan dan tempat-tempat ibadah akan diizinkan untuk dibuka kembali di banyak area pada tahap pertama dari rencana tiga fase.

Namun area dengan jumlah kasus Covid-19 yang tinggi akan tetap terkunci rapat. India telah mengonfirmasi lebih dari 190 ribu infeksi dan 5.598 kematian, menurut data dari kementerian kesehatan negara.

Warga Iran juga telah diperingatkan akan bahaya gelombang kedua virus corona. Iran merupakan salah satu negara yang paling terdampak Covid-19 di Timur Tengah. Negara ini mulai melonggarkan kebijakan karantina setelah kematian menurun di bulan April.

Tapi pada Ahad (31/5), Iran melaporkan kenaikan 2.979 kasus Covid-19 baru. Penambahan yang tertinggi sejak pelonggaran dilakukan. Terdapat tambahan 81 kematian juga dalam catatan hari itu di Iran.

Pejabat setempat menduga lonjakan kasus terjadi karena masyarakat yang menghadiri acara perkawina dan pemakaman, meski pemerintah telah melarangnya. Menteri Kesehatan Iran, Saeed Namaki, mengatakan dikutip dari Daily Mail, masyarakat agaknya mengira virus corona sudah lewat.

"Beberapa pejabat juga mengira semua sudah kembali normal. Tapi virus corona ini masih jauh dari tuntas. Kita kapan saja bisa melihat puncak berbahaya itu kembali," katanya.

Ia menambahkan, wabah ini belum usai. Ia mengingatkan, bukan tidak mungkin virus corona kembali bahkan lebih ganas.

"Bila masyarakat gagal mematuhi protokol kesehatan, kita harus bersiap menghadapi situasi terburuk," kata Namaki.

Dikutip dari Reuters, WHO memang pernah mengingatkan selalu ada kemungkinan kenaikan kembali kasus corona. Kemungkinan tersebut termasuk bisa terjadi di negara yang kurvanya yelah menurun.

WHO Emergency Head, Dr Mike Ryan, mengatakan dunia saat ini masih berada dalam arus gelombang pertama wabah Covid-19. Meski kasus sudah mulai menurun secara global, WHO mencatat kenaikan kasus masih terjadi di Amerika Tengah dan Selatan, Asia Selatan, dan Afrika.

Ryan mengatakan epidemik kadang muncul dalam bentuk gelombang. Artinya wabah bisa kembali muncul di tempat ia pernah ada. Maka selalu ada kemungkinan angka infeksi naik jika pelonggaran dilakukan terlalu dini.

photo
Presiden Joko Widodo dan New Normal (Ilustrasi) - (republika/mgrol100)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement