Rabu 17 Jun 2020 22:13 WIB

ICW Kecam Pemberian Remisi Kepada Nazaruddin

ICW mengecam pemberian remisi kepada M. Nazaruddin.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana jelaskan
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana jelaskan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengecam pemberian remisi kepada Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. Pemberian remisi kepada Nazaruddin dinilai bertentangan dengan Pasal 34 A PP 99/2012. 

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana menegaskan syarat terpidana kasus korupsi untuk mendapatkan remisi diantaranya adalah bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya atau Justice Collaborator (JC). Sedangkan menurut KPK, Nazaruddin sendiri tidak pernah mendapatkan status sebagai JC. 

Baca Juga

"Sehingga, pemberian remisi kepada Nazaruddin ini semakin menguatkan indikasi bahwa Kemenkumham tidak berpihak pada isu pemberantasan korupsi dengan mengabaikan aspek penjeraan bagi pelaku kejahatan," tegas Kurnia kepada Republika.co.id, Rabu (17/6). 

Sebab, lanjut Kurnia, berdasarkan putusan dua perkara korupsi yang menjerat Nazaruddin, seharusnya ia baru bisa menghirup udara bebas pada tahun 2024 atau setelah menjalani masa pemidanaan 13 tahun penjara.  Sehingga, dengan model pemberian semacam ini, maka ke depan pelaku kejahatan korupsi tidak akan pernah mendapatkan efek jera. 

Kurnia menuturkan, keputusan Kemenkumham untuk memberikan remisi pada Nazaruddin seakan telah mengabaikan kerja keras penegak hukum dalam membongkar praktik korupsi. Terlebih lagi, kasus Wisma Atlet yang menjerat Nazaruddin memiliki dampak kerugian negara yang besar, yakni mencapai Rp 54,7 miliar. 

Tak hanya itu, Nazaruddin juga dikenakan Pasal suap karena terbukti menerima dana sebesar Rp 4,6 miliar dari PT Duta Graha Indah. Bahkan aset yang dimilikinya sebesar Rp 500 miliar pun turut dirampas karena diduga diperoleh dari praktik korupsi.

Selain itu, pada akhir tahun 2019 yang lalu Ombudsman sempat menemukan ruangan yang ditempati Nazaruddin di Lapas Sukamiskin lebih luas dibanding sel terpidana lainnya. Tentu jika temuan ini benar, maka semestinya Kemenkumham tidak dapat memberikan penilaian berlakuan baik pada Nazaruddin sebagaimana disinggung dalam Pasal 34 ayat (2) huruf a PP 99/2012. 

"Ditambah lagi poin berlakuan baik tersebut merupakan salah satu syarat wajib untuk mendapatkan remisi," ujarnya.

Oleh karenanya, sambung Kurnia, ICW mendesak Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly segera menganulir keputusan cuti menjelang bebas atas terpidana Muhammad Nazaruddin. ICW juga meminta Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi kinerja Menteri Hukum dan HAM karena telah abai dalam mengeluarkan keputusan.

Sebelumnya, Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS)  Rika Aprianti ikut menjelaskan ihwal remisi yang didapat Nazaruddin. Remisi didapatkan lantaran Nazaruddin telah ditetapkan sebagai pelaku yang bekerja sama (justice colaborator) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Yang berdasarkan Surat nomor R-2250/55/06/2014 tanggal 09 Juni 2014 perihal surat keterangan atas nama Muhammad Nazaruddin dan  Surat Nomor R.2576/55/06/2017 tanggal 21 Juni 2017, perihal permohonan keterangan telah bekerja sama dengan penegak hukum atas nama Mohammad Nazaruddin," terang Rika.

Sementara KPK menegaskan tak pernah memberikan JC kepada Nazaruddin. Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan, lembaganya memang pernah menerbitkan dua surat keterangan yakni pada 09 Juni 2014 dan 21 Juni 2017. 

Namun, surat yang KPK terbitkan menurut Ali adalah surat keterangan bekerjasama untuk Nazaruddin karena sejak proses penyidikan, penuntutan dan di persidangan telah mengungkap perkara korupsi pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang. Kemudian perkara proyek pengadaan KTP-elektronik di Kemendagri dan perkara dengan terdakwa Anas Urbaningrum. Selain itu, Nazaruddin juga telah membayar lunas denda ke kas Negara. 

Ali mengungkapkan, dalam surat keterangan bekerjasama tersebut, juga menegaskan KPK tidak pernah menetapkan Nazaruddin sebagai JC. "Pimpinan KPK saat itu tidak pernah menetapkan M. Nazarudin sebagai Justice Collaborator (JC)," tegas Ali dalam pesan singkatnya, Rabu (17/6).

Lebih lanjut Ali menjelaskan, status JC dan surat keterangan bekerja sama merupakan dua hal berbeda. JC diberikan KPK saat proses hukum masih berjalan dan diputuskan oleh Majelis Hakim. Sementara surat keterangan bekerja sama diberikan KPK saat perkara hukum yang menjerat Nazaruddin telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah. 

"Kami sampaikan kembali bahwa KPK tidak pernah menerbitkan surat ketetapan JC untuk tersangka MNZ (M. Nazaruddin). Benar kami telah menerbitkan dua surat keterangan bekerjasama yang bersangkutan tahun 2014 dan 2017 karena telah bekerjasama pada pengungkapkan perkara dan perlu diingat saat itu dua perkara MNZ telah inkracht," tegasnya lagi.

Oleh karenanya, KPK menyesalkan langkah Ditjenpas memberikan cuti menjelang bebas kepada Nazaruddin. Bahkan, sambung Ali, KPK sebenarnya sudah tiga kali menolak memberikan rekomendasi sebagai persyaratan asimilasi kerja sosial dan pembebasan bersyarat yang diajukan Ditjenpas Kemenkumham, M. Nazarudin maupun Penasihat Hukumnya yakni pada Februari 2018, Oktober 2018 dan Oktober 2019. 

Ke depannya, KPK berharap Ditjenpas dapat lebih selektif dalam memberikan hak binaan, seperti remisi, pembebasan bersyarat, asimilasi dan lainnya kepada napi kasus korupsi. Hal ini lantaran korupsi merupakan kejahatan luar biasa. 

"Mengingat dampak dahsyat dari korupsi yang merusak tatanan kehidupan masyarakat," kata Ali. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement