REPUBLIKA.CO.ID, 'Aisyah binti Abu Bakar ash- Shiddiq, istri Rasulullah SAW, tidak hanya dikenal dengan paras yang cantik, tetapi terkenal sebagai sosok yang cerdas.
Perempuan yang dijuluki Humaira (pipi kemerah-merahan) oleh Rasulullah SAW itu selalu berpikir kritis dan analitis dalam melihat suatu peristiwa. Ilmu hadits pun bisa dikatakan berutang banyak pada istri ketiga Nabi SAW tersebut. Aisyah menghafal sebanyak 2.210 hadits Rasulullah. Tidak hanya dari aspek periwayatan tetapi juga pemahaman.
Ini, misalnya, terlihat jelas dalam kasus hadits berikut. Suatu ketika, Abu Hurairah menanyakan kepada 'Aisyah perihal hadits yang menyebutkan, sholat seseorang bisa batal karena tidak adanya pembatas yang menghalang orang dari melintas (di depan orang sholat itu), disebabkan melintasnya perempuan, himar, dan anjing hitam.
Sanad hadits ini juga diperoleh dari sahabat Nabi SAW lainnya, semisal Abu Dzar al-Ghifari. Mendengar keterangan itu, 'Aisyah lantas menyampaikan pendapatnya, berdasarkan pengalamannya serumah dengan Nabi SAW.
Dia berkata, “Demi Allah, aku melihat Nabi SAW sedang sholat, sementara aku sedang tiduran telentang di atas tikar, kakiku berada di antara beliau dan kiblat. Timbul niat dariku untuk tidak duduk yang mana bisa mengganggu sholat Nabi SAW. Maka, aku membiarkan kakiku terjulur di hadapan Nabi SAW.”
Di sini, 'Aisyah hendak menegaskan pandangannya kepada sahabat Nabi SAW itu. Seseorang hendaknya mengkaji terlebih dahulu seluruh keterangan yang ada sebelum dapat me nyimpulkan suatu hukum. Dalam kasus ini, 'Aisyah tak setuju pada anggapan sholat seseorang batal bila ada orang melintas di depannya. Buktinya, lanjut Sang Humaira, Nabi SAW tetap meneruskan sholatnya meskipun kaki 'Aisyah melintang di hadapan beliau.
Kisah di atas hanyalah satu dari rupa-rupa kontribusi 'Aisyah bagi ilmu hadits. Perempuan mulia itu memang berperan penting dalam menyampaikan risalah Nabi SAW.
Sebab utamanya, tentu, lantaran ia tinggal serumah dengan Rasulullah SAW dan rumahnya pun bersisian dengan Masjid Nabawi.
Namun, kedekatan itu tak mungkin berarti apa-apa bila tak ditunjang kecerdasan dari sang perempuan itu sendiri. Sesudah wafatnya Rasulullah SAW, di Madinah dan Makkah marak bermunculan majelis-majelis keilmuan.
Ada yang diselenggarakan para sahabat dari kalangan pria, semisal Abu Hurairah, Ibnu Abbas, atau Zaid bin Tsabit. Bagaimanapun, majelis ilmu yang bisa dibilang paling besar ialah yang diadakan Siti 'Aisyah RA. Bahkan, dialah yang menjadi poros utama dalam transmisi keilmuan Islam pada fase sahabat dan tabiin.