Kamis 16 Jul 2020 06:00 WIB

Jedalah Sejenak dari Segala Rutinitas

Jedalah sejenak agar perasaan negatif ini tidak semakin menjadi-jadi.

Jedalah sejenak dari segala rutinitas.
Foto: Huffingtonpost
Jedalah sejenak dari segala rutinitas.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: HD Iriyanto*

Salam metafora, salam perubahan. Lockdown, istilah ini menjadi begitu melambung akhir-akhir ini. Tidak lain sebagai akibat dari merebaknya Covid-19 yang oleh WHO ditetapkan sebagai global pandemic. Sebab dengan membatasi aktivitas yang berhubungan atau bersentuhan dengan banyak orang, dipercaya bisa memutus mata rantai perkembangbiakan virus corona ini. Maka anjuran bekerja di rumah dan beribadah di rumah pun disosialisasikan ke semua lapisan masyarakat.

Di DKI Jakarta jumlah armada Trans Jakarta dikurangi, warga Jakarta diimbau tidak melakukan perjalanan ke daerah. MUI juga mengeluarkan fatwa tentang mengganti sholat Jumat dengan sholat Dhuhur di rumah dalam kondisi darurat. Di DIY sendiri, gubernur juga sudah menyampaikan edaran ke semua Bupati dan Wali Kota untuk diteruskan ke jajaran pemerintah daerah maupun warga masyarakatnya.

Para pembaca yang siap berubah menjadi lebih baik, apa yang Anda rasakan dengan kondisi yang terjadi saat ini? Boleh jadi kita semua merasakan hal yang sama: resah, gelisah, cemas, bahkan ada yang stres. Namun, agar perasaan negatif ini tidak semakin menjadi-jadi, ada baiknya untuk merenungi hikmah di balik semua ini. Salah satunya adalah jedalah sejenak dari segala rutinitas dan keajegan yang selama ini kita lakukan.

Sering tak tersadari bahwa rutinitas bukan hanya melahirkan kebosanan, namun juga membuat kita terlena dan terjebak pada satu 'irama' saja. Sehingga kita tidak mampu melihat 'irama-irama' lain. Akibat selanjutnya adalah hidup kita, prestasi kita, ibadah kita, maupun karya-karya kita hanya akan berkutat pada yang itu-itu saja. Kualitas dan nilai yang lebih tinggi tak mudah kita gapai.

Simaklah apa yang ditulis oleh KH Mustofa Bisri berikut ini. Corona mengajarimu; Tuhan itu bukan (melulu) pada keramaian; Tuhan itu bukan (melulu) pada syariat; Tuhan itu ada pada jalan keterputusanmu dengan dunia yang berpenyakit. Corona memurnikan agama; bahwa tak ada yang boleh tersisa; kecuali Tuhan itu sendiri. Temukan Dia.

Ada pesan yang tersirat dari puisi sang Kyai. Musibah mengajari kita untuk merenung atau berkontlempasi. Mempertanyakan kembali hal-hal yang selama ini tertimbun oleh rutinitas dan keajegan. Ketika kita bisa melakoninya dengan baik, pasti ada nilai tambah yang kita dapatkan. Kita tak hanya berhenti pada syariat, namun bisa menapaki tangga hakikat.

Merenung atau berkomtemplasi identik dengan jeda sejenak. Ibarat menonton video atau tayangan televisi, tombol pause sekali waktu perlu diaktifkan. Karena ada sesuatu yang tiba-tiba menghentikan keasyikan kita menonton. Dan sesuatu yang menghentikan itu tidak selalu buruk.

Coba renungi pula ulasan Buletin Kaffah nomor 134 berikut ini. Wabah Covid-19 merupakan musibah. Musibah merupakan bagian dari qadha' Allah SWT. (QS Al Hadid [57]: 22). Sikap seorang Muslim terhadap qadha' Allah SWT adalah ridha. Sikap ridha terhadap qadha' ini memberikan kebaikan. Sebaliknya, kita dilarang membenci qadha' Allah SWT. Sebab, sebagaimana sabda Rasulullah, siapa saja yang ridha, untuk dia keridhaan itu.

Dan siapa yang benci, untuk dia kebencian itu. (HR at Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al Baihaqi) Sekarang, Anda boleh mengambil kesimpulan. Se berapa penting jeda seje nak dari rutinitas dan keajegan Anda? Dari jeda sejenak ini, apa saja kualitas dan nilai tambah yang ingin Anda raih? Semuanya kembali kepada Anda. Keep spirit & change your life.

*) Dosen Universitas Amikom Yogyakarta (www.bangunkarakter.com Inspirator Metamorphosis)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement