Senin 03 Aug 2020 23:45 WIB

Pengamat: Perma Aturan yang Progresif

Kehadiran Perma dapat mengakselerasi pemberantasan korupsi di Indonesia. 

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Koruptor, ilustrasi
Koruptor, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana, Indriyanto Seno Adji menyambut baik aturan baru Mahkamah Agung terkait pedoman pemidanaan untuk terdakwa koruptor. Diketahui, dalam Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pemidanaan Perkara Tipikor Pasal 2 & 3 UU Tipikor memungkinkan hakim untuk menjatuhkan pidana penjara seumur hidup kepada koruptor.

Indriyanto berharap, kehadiran Perma tersebut dapat mengakselerasi pemberantasan korupsi di Indonesia serta mewujudkan kepastian hukum dan keadilan. "Tentunya prevensi terjadinya disparitas pemidanaan ini untuk mewujudkan akselerasi terciptanya kepastian hukum dan keadilan dalam penanganan perkara-perkara tindak pidana korupsi," kata Indriyanto saat dikonfirmasi, Ahad (2/8). 

Perma ini, kata Indriyanto merupakan salah satu cara MA sebagai pemegang kekuasaan yudikatif tertinggi untuk mencegah terjadinya disparitas pemidanaan terhadap kasus-kasus tindak pidana korupsi khususnya penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi. Hal ini lantaran dalam praktiknya seringkali terjadi pemidanaan yang berlainan terhadap kasus sejenis dan menimbulkan pertanyaan publik. 

"Intinya, menghindari disparitas pemidanaan dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi yang dalam praktek sering menimbulkan pertanyaan publik terhadap tiada prinsip keadilan pemidanaan," kata Indriyanto.

Hal senada diungkapkan Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Menurutnya, Perma tersebut merupakan aturan yang relevan dan signifikan.

"Peraturan MA tentang pedoman pemidanaan menjadi sangat relevan dan signifikan. Penentuan jumlah kerugian negara Rp 100 miliar lebih dengan hukuman penjara seumur hidup adalah sebuah aturan yang responsif dan progresif," kata Fickar. 

Kehadiran Perma juga akan membatasi dan mengawasi para hakim yang kerap bermain dengan kekuasaan yudikatif yang dimilikinya. "Aturan ini akan membatasi dan mengawasi para Hakim yang seringkali bermain main dgn kekuasaannya. Apresiasi tinggi untuk Mahkamah Agung, meski pada penerapannya juga harus tetap dijaga prinsip "indefendensi judiciary" kebebasan kekuasaan kehakiman yang mekekat pada profesi hakim," tuturnya 

Dia menegaskan, pemberantasan korupsi sudah sepatutnya menjadi komitmen semua pihak, dan peradilan merupakan lembaga satu-satunya yang mempunyai otoritas untuk menghukum pelaku korupsi. Meskipun, seringkali kekuasaan 'uang' memengaruhinya, sehingga kerap terjadi pergeseran penggambaran bahwa 'keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa' menjadi 'Keuangan Yang Maha Kuasa'.

Oleh karenanya, sistem hukum pembuktian dalam perkara pidana dibangun atas dasar minimal adanya dua alat bukti, seperti keterangan saksi, keterangan Ahli, surat, petunjuk, keterangan tersangka atau terdakwa dan informasi atau dokumen elektronik yang menimbulkan keyakinan hakim. Dengan kebebasan yang dimilikinya dan keyakinan atas proses pembuktian di persidangan, seringkali terjadi disparitas hukuman yang dijatuhkan hakim dalam perkara serupa, termasuk perkara korupsi. Kehadiran Perma Nomor 1 Tahun 2020 diharapkan dapat mencegah disparitas tersebut.

"Sebabnya, ya seringkali intervensi "uang" dalam berbagai bentuknya menjadi faktor yang utama, sehingga tidak heran dari sebuah fakta peristiwa dan persoalan hukum yang sama lahir putusan yang berbeda-beda besarnya," tegas Fickar.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement