REPUBLIKA.CO.ID, LEBANON -- Menteri Luar Negeri Lebanon, Nassif Hitti, mengundurkan diri pada Senin (3/8) atas apa yang disebut sebagai kurangnya keinginan politik untuk melakukan reformasi, kala negaranya bergulat dengan krisis finansial yang membawa ancaman besar terhadap stabilitas sejak perang sipil 1975-1990.
Para pendonor asing telah menegaskan tak akan ada bantuan hingga Beirut memberlakukan reformasi yang telah lama ditunda untuk menangani limbah negara dan korupsi, penyebab-penyebab utama keambrukan itu. Pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) telah ditunda di tengah perdebatan terkait skala kerugian finansial.
"Mengingat tidak adanya keinginan efektif untuk mencapai reformasi yang struktural dan komprehensif yang telah didesak oleh masyarakat kita dan komunitas internasional, saya telah memutuskan untuk mundur," kata Hitti dalam sebuah pernyataan.
"Saya mengambil peran dalam pemerintahan ini untuk bekerja pada satu pimpinan yaitu Lebanon, lalu saya menemukan di negara saya berbagai bos dan kepentingan yang saling berkontradiksi," katanya. "Apabila mereka tidak bersatu demi kepentingan menyelamatkan masyarakat Lebanon, jangan sampai, kapal ini tenggelam dengan semua yang ada di dalamnya."
Hitti, yang merupakan mantan Duta Besar Lebanon untuk Liga Arab, diangkat sebagai Menlu pada Januari, saat PM Hassan Diab menjabat dengan dukungan dari pergerakan Hezbollah yang didukung Iran serta sekutu-sekutunya. Keputusannya untuk mundur juga didorong oleh perbedaan dengan Diab, terutama setelah kunjungan baru-baru ini dari Menlu Prancis, dan keputusasaan karena dikesampingkan, seorang sumber yang dekat dengan kementerian mengatakan pada Reuters.
Diab tampak mengkritik Menlu Prancis Jean-Yves Le Drian karena mengaitkan setiap bantuan untuk reformasi dan kesepakatan Dana Moneter Internasional dalam kunjungannya ke Beirut bulan lalu. Negara memulai pembicaraan dengan IMF pada Mei setelah gagal bayar atas utang mata uang asingnya yang besar dan kuat.
Tetapi harapan keselamatan melalui kesepakatan IMF telah ditunda karena tidak adanya reformasi dan di tengah perbedaan antara pemerintah dan bank-bank atas kerugian finansial.