REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) secara resmi menolak permohonan perlindungan yang diajukan oleh pengacara Djoko Soegiarto Tjandra, Anita Kolopaking (AK). Keputusan diambil melalui Rapat Paripurna Pimpinan (RPP) LPSK pada Senin, (31/8).
Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengatakan, ada beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan pihaknya dalam mengambil keputusan. Ia menjelaskan, keputusan itu sudah berdasarkan telaah dan analisa dengan informasi serta data yang dimiliki saat ini serta berdasarakan koordinasi dengan berbagai pihak.
"Hasilnya menunjukan bahwa permohonan perlindungan yang diajukan tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan," katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (1/9).
Kemudian, ia melanjutkan permohonan perlindungan yang diajukan Anita Kolopaking, tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Status tersangka yang disandang oleh Anita juga menjadi salah satu alasan yang melatarbelakangi keputusan dalam menolak permohonan.
Sehingga LPSK beranggapan tidak ada dasar untuk memberikan perlindungan kepadanya. Selain itu, masih terdapat informasi atau data lainnya yang tidak sepenuhnya disampaikan Anita Kolopaking kepada LPSK.
"Sebelum keputusan diambil, LPSK juga telah berkoordinasi dengan berbagai pihak, khususnya Kepolisian dan Kejaksaan Agung," ujarnya.
Hasto melanjutkan telah mengeluarkan rekomendasi terkait penangan kasus Anita Kolopaking ini. Diantaranya adalah meminta Polri dan Kejaksaan Agung untuk profesional dan proporsional dalam menangani kasus terkait Djoko Tjandra. Kemudian meminta penyidik di Kepolisian dan Kejaksaan untuk mendorong perlindungan bagi Saksi dan Saksi Pelaku (JC) ke LPSK.
Pihaknya tidak menutup pintu bila kedepannya terdapat perkembangan-perkembangan dalam penanganan perkara yang terkait dengan skandal Djoko Tjandra, bilamana Anita Kolopaking benar-benar memenuhi persyaratan diberikannya perlindungan baik dalam statusnya sebagai saksi atau mungkin juga sebagai saksi pelaku (Justice Collaborator) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Sebelumnya kami telah memberikan gambaran kepada AK mengenai saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum untuk mengungkap kasus dan pelaku lain yang memiliki kedudukan atau peran yang lebih besar," katanya.
Hasto berharap agar penegak hukum yang saat ini sedang bekerja keras menuntaskan perkara Djoko Tjandra untuk dapat bersinergi dalam pemberian perlindungan kepada saksi-saksi kunci agar dapat secara maksimal berkontribusi dalam pengungkapan perkara pidana. Kasus Djoko Tjandra telah melibatkan berbagai pihak yang memiliki posisi di institusi penegak hukum.
"Tentunya diperlukan kebijakan yang bisa meyakinkan masyarakat agar semua orang yang terlibat dan memberikan kesaksian bisa menyampaikannya secara bebas tanpa rasa takut akan adanya ancaman atau intimidasi," katanya.
Dalam praktek di berbagai negara, kasus-kasus yang memiliki dampak yang besar, biasanya para saksi termasuk justice collaborator akan diserahkan perlindungannya kepada institusi yang secara khusus bertugas untuk memberikan perlindungan saksi. Sehingga kredibilitas kesaksiannya dapat dipertanggungjawabkan tanpa adanya dugaan terjadi intervensi oleh institusi yang terseret dalam kasus tersebut.
"Dalam kerangka menjalankan tugas dan kewenangannya, LPSK tentunya siap bekerja sama dengan penegak hukum agar kasus-kasus yang terkait dengan kasus Djoko Tjandra dapat diungkap dengan tuntas," ujarnya.
Diketahui, LPSK menerima surat permohonan perlindungan tertanggal 29 Juli 2020 dari Dr. Ir. Anita D.A. Kolopaking, pada saat yang bersangkutan mengajukan permohonan perlindungan kepada LPSK mengacu status hukumnya sebagai saksi pada perkara yang menyeret Brigjen Pol. Prasetijo Utomo yang dijerat dengan Pasal 263 KUHP dan Pasal 426 KUHP dan/atau Pasal 221 KUHP oleh Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri. Belakangan, Bareskrim Polri menetapkan Anita Kolopaking sebagai tersangka pada 8 Agustus 2020.