REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono mengatakan, narasi yang mengagetkan dari pemerintah adalah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 dilanjutkan karena tidak ada yang tahu kapan pandemi Covid-19 berakhir. Padahal, akhir pandemi Covid-19 memang tidak bisa dipastikan.
Namun, ia mengatakan, pilkada sangat mungkin ditunda karena pemerintah belum berhasil mengendalilan pandemi. "Beda antara pandemi terkendali dan pandemi berakhir, kalau berakhir itu bisa lama sekali, bisa lima tahun mungkin. Tapi kalau terkendali artinya terkendali itu kasusnya menurun," ujar Pandu dalam diskusi publik virtual, Rabu (30/9).
Menurut dia, narasi pilkada tidak ditunda dengan alasan tidak tahu kapan pandemi berakhir dipilih agar alasan pemerintah tidak bisa terbantahkan. Pandu mengatakan, penundaan pilkada seharusnya memungkinkan apabila pandemi Covid-19 belum terkendali.
Dia mengatakan, pandemi Covid-19 terkendali saat kasus orang terpapar Covid-19 menurun sehingga upaya pencegahan dapat dikatakan berhasil. Di samping itu, masyarakat tetap harus memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan.
"Itu kalau terjadi pada 85 persen penduduk, patuh atau melakukan perilaku seperti itu maka pandemi ini bisa terkendali, kita bisa lebih leluasa beraktivitas tanpa kekhawatiran berlebih," kata Pandu.
Apabila pandemi terkendali, ia melanjutkan, penyelenggaraan Pilkada 2020 juga bisa lebih tenang dan berkualitas. Namun sampai saat ini, Pandu menegaskan, orang di negeri ini tidak ada yang bisa menjamin bahwa tidak akan ada kasus penularan virus corona dalam kegiatan pilkada.
Tidak ada juga yang bisa menjamin semua orang yang terlibat dalam kegiatan pilkada akan mematuhi aturan protokol kesehatan walaupun dikenakan sanksi. Menurutnya, peserta pilkada akan mencari celah karena yang menjadi objektif adalah kemenangan, bukan memperbaiki kesehatan.
Di samping itu, tidak ada pula yang bisa menjamin pasangan calon tetap sehat saat mereka harus bergerak aktif mendulang dukungan. Di sisi lain, kata dia, target tingkat partisipasi yang tinggi, khususnya pada hari pemungutan suara bisa terhambat karena adanya kekhawatiran warga keluar rumah.
"Karena virus ini tidak mengenal, yang dikenal adalah orang yang aktif, kalau pasangan calon kan harus aktif, harus rapat, harus menggalang dukungan, beliau-beliau ini sangat berisiko tinggi. Walaupun sangat mengikuti protokol kesehatan tidak ada jaminan, siapa yang bisa menjamin," tutur Pandu.