Rabu 30 Sep 2020 20:46 WIB

Shell akan Pangkas 9.000 Pekerjaan

Shell akan melakukan reorganisasi agar menjadi perusahaan rendah karbon.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Dwi Murdaningsih
Tampak salah satu SPBU Shell
Foto: istimewa
Tampak salah satu SPBU Shell

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Royal Dutch Shell pada Rabu (30/9) mengumumkan rencananya untuk memangkas hingga 9.000 pekerjaan. Jumlah ini merupakan lebih dari 10 persen tenaga kerjanya, sebagai bagian dari perbaikan besar-besaran untuk mengalihkan raksasa minyak dan gas itu ke energi rendah karbon.

Shell, yang memiliki 83 ribu karyawan pada akhir 2019, mengatakan bahwa reorganisasi akan menghasilkan penghematan tahunan tambahan sekitar 2 miliar hingga 2,5 miliar dolar AS pada tahun 2022. Sebagian jumlah ini melampaui pemangkasan 3 hingga 4 miliar dolar AS yang diumumkan awal tahun ini.

Baca Juga

Saham Shell yang diperdagangkan di London naik 0,15 persen pada Rabu (30/9) dibandingkan dengan kenaikan 0,9 persen untuk sektor energi yang lebih luas.

Bulan lalu Shell meluncurkan tinjauan luas tentang bisnisnya yang bertujuan untuk memangkas biaya saat bersiap untuk merestrukturisasi operasinya sebagai bagian dari peralihan ke energi rendah karbon.

Perusahaan Inggris-Belanda itu mengatakan akan memangkas 7.000 hingga 9.000 pekerjaan pada akhir 2022, termasuk sekitar 1.500 orang yang telah setuju untuk mengambil redundansi sukarela tahun ini.

Saingan Shell, BP, tahun ini mengumumkan rencana untuk memangkas sekitar 10 ribu pekerjaan. Ini sebagai bagian dari rencana CEO BP, Bernard Looney untuk memperluas bisnis energi terbarukan dengan cepat dan mengurangi produksi minyak dan gas.

Mengurangi biaya sangat penting bagi rencana Shell untuk beralih ke sektor listrik dan energi terbarukan dengan margin yang relatif rendah. Persaingan juga kemungkinan akan meningkat dengan utilitas dan perusahaan minyak saingan termasuk BP dan Total yang semuanya berjuang untuk pangsa pasar karena ekonomi di seluruh dunia menjadi hijau.

"Kami telah melihat dengan cermat bagaimana kami diatur dan kami merasa bahwa, di banyak tempat, kami memiliki terlalu banyak lapisan di perusahaan," kata CEO Shell, Ben van Beurden.

sumber : reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement