REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli Ilmu Hukum Teknologi Informasi dan Komunikasi Danrivanto Budhijanto menilai tidak diperlukan undang-undang baru untuk mengatur konvergensi penyiaran dan penggunaan internet karena memerlukan waktu yang lama, sementara teknologi terus berkembang.
"Jadi, memang kalau dikatakan perlu legislasi baru, oh, jangan. Malah kalau ada legislasi baru, kita akan melakukan masa transisi yang begitu banyak sedangkan teknologinya begitu cepat," ujar Danrivanto yang dihadirkan sebagai ahli secara virtual dalam sidang pengujian Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (1/10).
Akademisi Universitas Padjadjaran itu mencontohkan saat pengaturan baru sampai pada artikulasi konstitusi untuk penyiaran melalui internet, terdapat kemungkinan kemudian hari terdapat perkembangan penyiaran melalui selain internet, misalnya kecerdasan buatan. Untuk itu, menurut dia, pemaknaan frasa penyiaran ditambahkan dengan internet sebagai instrumen platform teknologi sudah cukup dan dapat mengantisipasi perkembangan teknologi ke depan.
"Pentingnya di dalam artikulasi konstitusional terhadap pemaknaan frasa penyiaran adalah termasuk penyiaran melalui internet ini merespons secara futurikal," ujar Danrivanto.
Dalam sidang sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika berpendapat alih-alih memasukkan layanan konten siaran melalui internet ke dalam penyiaran, lebih baik dibentuk undang-undang baru yang mengatur konvergensi layanan siaran melalui internet.
Sementara pemohon PT Visi Citra Mulia (INEWS TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) menilai pengaturan penyiaran berbasis internet dalam Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran ambigu dan menyebabkan ketidakpastian hukum. Para pemohon meminta penyedia layanan siaran melaui internet turut diatur dalam UU Penyiaran.