REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA–-Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI) memutuskan menolak Undang-Undang Cipta Kerja dan mendesak kepada Presiden untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang pembatalan pengesahan UU Cipta Kerja.
Pernyataan sikap ini disampaikan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) KRPI, Saepul Tavip menanggapi pengesahan UU Cipta Kerja (Cilaka) oleh DPR pada siding paripurna, Senin (5/10). "Apabila pemerintah bersikeras mengundangkan peraturan tersebut maka kami akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, "kata Saepul, Selasa malam (6/10).
Menurut Saeful, penerapan Omnibuslaw selain berdampak pada 79 undang-undang eksisting juga telah menuai protes dari berbagai kalangan termasuk pekerja karena tidak membuka ruang publik dalam penyusunan rancangan undang-undang (RUU) tersebut. Penolakan dari berbagai pihak “diredam” dengan janji akan membuka ruang untuk memberi masukan secara terbuka dalam proses pembahasan. "Berbagai usulan masyarakat seperti angin lalu, meskipun argumentasi filosofis, juridis, maupun sosiologis telah disampaikan berbagai pihak jauh lebih kuat karena bernafaskan konstitusi UUD 1945, ketimbang muatan Naskah Akademik dan RUU Cipta Kerja yang dibuat Pemerintah," katanya.
KRPI mengungkapkan hingga hari ini, baik Pemerintah, maupun DPR RI tidak menyampaikan kepada publik materi UU Cipta Kerja yang diputuskan di Paripurna. Sama dengan lapisan masyarakat lainnya, KRPI hanya mendapatkan draft yang “katanya” draft final RUU Cipta Kerja dan “katanya” dibagikan ke media oleh salah satu pimpinan Baleg DPR RI. Pertanyaan dasar: dapatkah suatu RUU disahkan sebagai UU tanpa ada draft final?
Jika draft yang “katanya” draft final RUU Cipta Kerja tersebut dan sudah beredar benar adanya, pertanyaan berikutnya, khususnya klaster ketenagakerjaan, mengapa isi draft final berbeda dengan keputusan rapat panja RUU Cipta Kerja, Minggu, 27 September 2020, di Hotel Swissbell Tangerang (lihat dokumentasi di tayangan TV Parlemen yang saat itu menyiarkan secara live).
Contoh indikasi “sabotase” keputusan panja terhadap klaster ketenagakerjaan: Pasal 59 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Pasal 66 tentang alih daya (outsourcing). Putusan Panja adalah kembali ke UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun “katanya” draft final adalah syarat PKWT maksimal 3 tahun dihapus dan hanya ada sekali perpanjangan PKWT, outsourcing tanpa batasan, berlaku bagi jenis pekerjaan apapun (core dan non core), yang di UU 13/2003 jelas batasannya.
Bunyi pasal tersebut jelas bernuansa kental semangat fleksibilitas yang memastikan penurunan perlindungan terhadap pekerja, pekerja semakin rentan dilanggar hak-hak normatifnya, seperti upah minimum (termasuk upah lembur) dan jaminan sosial. "Ini salah satu contoh masih, yang lainnya soal upah minimum, mekanisme PHK serta kompensasinya, penggunaan TKA, jam kerja lembur dan bahaya lainnya dalam klaster ketenagakerjaan di UU Cilaka," tegasnya.
Dengan demikian, draft final RUU Cipta Kerja yang telah menjadi UU Cipta Kerja terindikasi kuat cacat hukum yaitu cacat formal dan materiel serta bertentangan dengan UUD 1945 dan TAP MPR XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Selain undang-undang tersebut tidak berpihak dan tidak melindungi pada Pekerja/Buruh Indonesia, serta tidak menjamin terciptanya lapangan kerja yang layak bagi rakyat Indonesia.