REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah pandemi Covid-19, pengurus dana pensiun (dapen) harus lebih ekstra hati-hati dalam mengelola investasi. Jika tidak, penurunan nilai aset investasi pada gilirannya akan berdampak terhadap kecukupan pendanaan dapen.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) Bambang Sri Muljadi gejolak pada bursa saham telah menggerus nilai aset investasi saham dapen. Biasanya, porsi aset saham terhadap total investasi dana pensiun sekitar 12 persen.
"Saat ini porsi aset saham turun menjadi sekitar 8 persen, dari total investasi dapen. Artinya ada penurunan nilai investasi sekitar 4 persen," ujarnya kepada Republika.co.id, Rabu (7/10).
Itu sebabnya, Bambang memperkirakan, ada beberapa dapen yang mengalami penurunan rasio kecukupan dana (RKD). Begitu pula, jumlah dapen yang memiliki RKD di atas 100 persen diperkirakan berkurang.
"Memang, tidak semua dapen akan mengalami penurunan RKD. Sebab ada dapen yang mengantisipasi penurunan nilai aset dengan memegang surat berharga hingga jatuh tempo, sehingga tidak terjadi selisih investasi yang akan mempengaruhi RKD," ucapnya.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2018 , dari total dana pensiun pemberi kerja yang menjalankan program pensiun manfaat pasti atau DPPK-PPMP, jumlah dapen yang memiliki RKD di atas 100 persen hanya sebanyak 65 dapen atau 39,63 persen. Sedangkan sisanya memiliki RKD di bawah 100 pereen.
Perinciannya, sebanyak 47,56 persen dari total DPPK-PPMP memiliki RKD di atas 75 persen hingga 100 persen, sebanyak 9,76 persen memiliki RKD lebih dari 50 persen hingga 75 persen, sedangkan 3,05 persen dari total DPPK-PPMK memiliki RKD kurang dari 50 persen.
Menurut Bambang ada beberapa faktor yang menyebabkan dapen memiliki RKD di bawah 100 persen. Pertama, kenaikan gaji karyawan yang tidak diikuti dengan kenaikan iuran dari pemberi kerja.
"Kenaikan gaji karyawan akan mempengaruhi penghasilan dasar pensiun (PhDP). Saat PhDP naik, pemberi kerja semestinya juga menaikkan iuran. Jika tidak dilakukan akan menggerus RKD karena rasio kebutuhan likuiditas berdasarkan aktuarial naik tapi iuran dari pemberi kerja tidak bertambah," kata Bambang.
Kedua, iuran yang masuk ke dapen dari pemberi kerja kurang tepat. Jika iuran tidak tepat, pengurus dapen tidak bisa segera menginvestasikan iuran tersebut.
Ketiga, penggunaan asumsi bunga teknis atau bunga aktuaria yang tinggi. Menurut Bambang ada pendiri dapen yang memang mematok tingkat bunga teknis yang tinggi dengan tujuan untuk memperkecil kontribusi yang harus disisihkan oleh pendiri.
"Karena asumsi tingkat bunga aktuaria yang digunakan tinggi, pengurus dapen harus lebih agresif dengan menempatkan investasi pada instrumen berisiko tinggi. Hal ini akan mempengaruhi kewajiban atas pemenuhan manfaat peserta," ucapnya.
Bambang menyebut masalah muncul jika pencapaian hasil usaha berada di bawah bunga teknis. Jika pengurus dapen tidak bisa mendapatkan tingkat hasil investasi sesuai dengan tingkat bunga teknis, maka rasio kecukupan dana akan tergerus.
Lalu, apa dampaknya jika RKD kurang dari 100 persen? Jika RKD di bawah 100 persen, pendiri dapen wajib melakukan pembayaran sejumlah dana tambahan guna mencapai keadaan dana terpenuhi.
"Intinya, pendiri harus melakukan top up dana ke dapen jika RKD kurang dari 100 persen," kata Bambang.
Menurutnya sepanjang pendiri dapen dapat memenuhi rasio kecukupan dana, sebetulnya tidak ada persoalan. Namun, dalam jangka panjang, rasio kecukupan dana yang kurang dari 100 persen juga akan berakibat buruk terhadap para penerima manfaat pensiun.
"Ini terjadi jika pendiri dapen sudah tidak sanggup lagi untuk menambah dana alias top up. Sebab, pendanaan dapen semakin lama akan habis karena tidak ada top up dari pendiri. Akibat paling buruk adalah peserta dana pensiun tidak bisa menerima manfaat pensiun," ucapnya.
"Makanya, jika pendiri sudah tidak ada, dapen harus segera dibubarkan, sehingga seluruh dana yang masih tersisa dibagikan ke peserta. Tentu saja, pembagian dana ini bisa jadi tidak sesuai dengan manfaat pensiun yang diharapkan peserta," ucapnya.