Jumat 09 Oct 2020 10:07 WIB

UU Ciptaker akan Suburkan Perburuan Renten Importir Pangan

Tidak boleh hukumnya mengorbankan ketahanan pangan berbasis kemandirian petani.

Rep: Imas Damayanti    / Red: Friska Yolandha
Sejumlah massa aksi berdialog dengan anggota kepolisan dan TNI di Jakarta, Kamis (8/10). Dalam aksi yang berakhir ricuh tersebut mereka menolak disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) karena dinilai merugikan buruh dan pekerja. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah massa aksi berdialog dengan anggota kepolisan dan TNI di Jakarta, Kamis (8/10). Dalam aksi yang berakhir ricuh tersebut mereka menolak disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) karena dinilai merugikan buruh dan pekerja. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Aqil Siradj mengatakan, upaya menarik investasi melalui disahkannya Undang Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) berpotensi menyuburkan perburuan renten importir pangan. Pengesahan UU Ciptaker dinilainya cenderung tergesa-gesa.

“Ada pasal dalam UU Ciptaker yang dikhawatirkan bakal menimbulkan kapitalisme dan memperluas ruang perburuan renten bagi para importir pangan,” kata KH Said dalam surat resmi pernyataan sikap PBNU soal UU Ciptaker yang diterima Republika.co.id, Jumat (9/10).

Dia menjelaskan, tidak boleh hukumnya mengorbankan ketahanan pangan berbasis kemandirian petani. Dalam Pasal 64 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa pasal dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, dia menyebut pasal itu akan berpotensi menjadikan impor sebagai soko goro penyediaan pangan nasional.

Perubahan Pasal 14 UU Pangan menyandingkan impor dan produksi dalam negeri dalam satu pasal. Hal inilah, kata dia, yang akan menimbulkan kapitalisme pangan dan memperluas ruang perburuan rente bagi para importir pangan.

Pihaknya juga menyayangkan pengesahan UU Ciptaker yang cenderung tergesa-gesa. Padahal dengan jumlah pasal yang cukup banyak di dalamnya, diperlukan aspirasi dari sejumlah pihak agar UU tersebut dapat lebih komprehensif.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement