Kamis 05 Nov 2020 00:07 WIB

Kesalahan UU Ciptaker, Setneg dan KSP Diminta Berbenah

Pemerintah jadi bulan-bulanan publik akibat kualitas kerja Setneg yang buruk.

Rep: Arief Satrio Nugroho/ Red: Andi Nur Aminah
Pengesahan UU Cipta Kerja (ilustrasi)
Foto: republika
Pengesahan UU Cipta Kerja (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Sitorus meminta Kementerian Sekretariat Negara dan Kantor Staf Presiden segera berbenah terkait permasalahan dalam naskah Undang-undang Cipta Kerja yang ditandatangani Presiden Joko Widodo. Deddy menilai, Jokowi dan pemerintah menjadi bulan-bulanan publik akibat kualitas kerja yang buruk Sekretariat Negara.

“Saya berharap agar Presiden segera melakukan evaluasi terhadap Sekretariat Negara. Pak Mensesneg Pratikno harus segera menyusun ulang timnya agar kejadian yang sama tidak terulang di masa depan,” kata Deddy saat dikonfirmasi, Rabu (4/11).

Baca Juga

Pemerintah melalui Mensetneg mengakui adanya kesalahan redaksional dalam naskah final UU Cipta Kerja yang ditandatangani Presiden beberapa waktu lalu. Deddy menilai kualitas kerja, keamanan, dan efektivitas Sekretariat Negara patut dipertanyakan dan dievaluasi sebab mempermalukan pemerintah, Presiden, dan DPR RI.

“Kita tidak boleh menganggap remeh masalah seperti ini, harus ada yang bertanggung jawab dan menerima konsekuensi dari kejadian ini,” ujar dia. 

Anggota Fraksi PDI Perjuangan tersebut menyampaikan, tim yang bertanggungjawab terhadap sebuah naskah UU sebelum ditandatangani Kepala Negara, harusnya terdiri atas orang-orang terbaik di bidang hukum, bahasa, dan substansi. “Sungguh aneh kalau belum sempurna lalu diberikan kepada Presiden untuk ditandatangani. Soeharto memerintah selama 32 tahun dan banyak UU lahir selama periode itu, tetapi baru di era sekarang seorang Presiden menjadi bulan-bulanan publik akibat kualitas kerja Sekretariat Negara yang bermutu rendah. Ini tidak boleh terulang lagi,” ujar Deddy.

Ia juga mengkritisi kinerja Staf Kepresidenan, baik KSP maupun Staf Khusus Presiden (SKP) yang terlihat lumpuh selama hiruk pikuk pembahasan dan penolakan Omnibus Law. Ia menilai, tidak ada upaya komunikasi yang terstruktur, masif, terorganisir dan konsisten dalam melakukan advokasi Omnibus Law oleh KSP. 

“Saya juga tidak menangkap di lapangan kerja-kerja aparatur KSP dan SKP dalam meminimalisir penolakan, tidak ada upaya siqnifikan dalam menggalang dukungan. Semuanya bersikap seolah situasi biasa saja, seadanya dan terkesan gagap dan tidak memahami fungsi dan peran mereka sebagai perangkat Presiden di bidang sosial dan politk,” kata Deddy.

Dia melanjutkan, kinerja komunikasi KSP dan SKP sangat buruk dan kerja-kerja politiknya juga tidak membantu Presiden secara maksimal. “Saya berharap ini bukan karena KSP dan SKP terlalu sibuk mengurusi hal-hal yang bukan tupoksinya,” ungkap Deddy.

“Saya lebih sering bertemu orang di lapangan membawa-bawa nama KSP dalam perburuan jabatan dan proyek dibanding kerja-kerja strategis melayani Presiden,” ujar Deddy melanjutkan.

Oleh karena itu, Deddy berharap Presiden segera melakukan evaluasi menyeluruh dan segera menyusun ulang perangkat-perangkat pendukungya baik di Kemensetneg, KSP, maupun SKP. Pasalnya, Presiden hanya punya waktu dua tahun lagi untuk menuntaskan programnya secara efektif.

“Realitanya, sekarangpun sudah terlihat beberapa menteri yang lebih memikirkan bagaimana menaikkan posisi tawar menghadapi Pemilu 2024 dari pada mengerjakan tugas utamanya. Bisa dibayangkan bagaimana kinerja beberapa menteri yang punya hasrat tinggi untuk Pilpres 2024, dua tahun menjelang Pemilu nanti,” kata Deddy menambahkan. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement