REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tim pembela hukum Habib Rizieq Shihab (HRS) mengajukan praperadilan terkait penetapan tersangka kerumunan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Selasa (15/12). Salah satu anggota pengacara Sumadi Atmadja mengatakan, pengajuan praperadilan tersebut lantaran kasus yang menyeret Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) itu tampak janggal.
Sumadi mengatakan, kasus yang ditangani Polda Metro Jaya tersebut, berawal dari penyelidikan terkait kerumunan massal yang dianggap melanggar protokol kesehatan. Namun, dalam penetapan tersangka, kepolisian malah menebalkan sangkaan penghasutan dan perintangan penyelidikan dalam Pasal 160 dan 216 KUH Pidana.
“Kami berharap, pengadilan, yang berada di bawah institusi MA (Mahkamah Agung), masih mampu menegakkan keadilan, atas penetapan tersangka Habib Rizieq yang menurut kami sembrono,” terang Sumadi, di Jakarta, Selasa (15/12).
Menurut Sumadi, penyidikan yang dilakukan Polda Metro Jaya terkait kasus kerumunan HRS pun menyimpang. Karena menurut dia, lima tersangka lain dalam perkara yang sama tak dikenakan tuduhan yang sama.
Lima tersangka lain dalam kasus ini, Haris Ubaidillah, Ali Alwi Alatas, dan Idrus, serta Maman Suryadi, juga Shabri Lubis. Kelima tersangka tersebut jajaran pengurus DPP FPI di bawah komando HRS.
Kelimanya panitia dan penanggung jawab gelaran Maulid Nabi Muhammad dan hajatan pernikahan putri HRS. Dua acara pada Sabtu (14/11), tersebut mengakibatkan ribuan orang datang ke Petamburan. Padahal kerumunan massa dilarang selama penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Lima tersangka lainnya itu dijerat menggunakan Pasal 93 UU 8/2018 Karantina Kesehatan. Ancaman hukumannya, di bawah setahun penjara. Sedangkan, terhadap HRS ancaman hukumannya sampai enam tahun.
Sangkaan terhadap HRS itu, yang membuatnya mendekam di sel tahanan sejak Sabtu (12/12). “Penerapan 160 dan 216 (KUH Pidana) terhadap klien kami (HRS) ini kami nilai konyol,” kata Sumadi melanjutkan.
Sangkaan penghasutan HRS, tak sesuai dengan penjelasan Mahkamah Konstitusi (MK). Kata dia, MK, dalam penjelasan terhadap Pasal 160 KUH Pidana, menjadikan sangkaan tersebut terkait dengan delik materil.
“Artinya harus didahului dengan bukti putusan tindak pidana yang dilakukan oleh pihak lain yang dihasut. Dan klien kami (HRS) tidak pernah menghasut orang untuk melawan hukum dan jelas tidak ada orang yang terhasut dan diputus bersalah oleh pengadilan (atas hasutan itu),” terang Sumadi.