REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemilu harus dapat menyesuaikan kondisi bangsa saat ini. Salah satunya untuk adaptif dengan bencana non-alam seperti pandemi Covid-19.
Ia mengatakan, pandemi Covid-19 mengubah sejumlah teknis pelaksanaan pemilu. Salah satunya terkait pemungutan suara yang harus menyesuaikan dengan protokol tertentu.
"Peluang pemilihan via pos, pemilihan lebih awal tidak hanya satu hari, dan penggunaan teknologi penghitungan suara harua dipertegas dan diperjelas pengaturannya," ujar Titi dalam diskusi daring, Senin (25/1).
Selain itu, ia berharap ke depan tak digabungkan lagi antara pemililhan presiden dan legislatif. Hal ini agar beban penyelenggara pemilu dapat lebih ringan dalam pelaksanaannya nanti.
"Karena itu, pemilu presiden, legislatif, dan pilkada mestinya tidak diselenggarakan pada tahun yang sama. Untuk menata itu, maka sebaiknya pilkada tetap terselenggara sesuai siklus awal," ujar Titi.
Di samping itu, UU Pemilu saat ini belum secara menyeluruh mengatur perihal pemilihan umum. Untuk itu, ia menilai perlu adanya revisi dari undang-undang tersebut.
"Belum menyoroti semua unsur sistem pemilu yang diperlukan untuk memastikan pemilu yang demokratis," ujar Titi.
UU Pemilu juga dinilai tak dibuat untuk jangka yang panjang dan membuat adanya ketidakkonsistenan dalam penyelenggaraannya. Hal itu membuat penyelenggara selalu beradaptasi dengan aturan baru yang membuatnya tak maksimal.
Perludem mendorong agar revisi UU Pemilu kali ini untuk memperhitungkan jangka panjang pelaksanaan pemilihan umum. Agar regulasinya relevan dan penting untuk memperkuat kualitas tata kelola pemilu di Indonesia.
"Penyatunaskahan pengaturan pemilu dan Pilkada sangat penting dilakukan guna mengatasi pengaturan yang bermakna ganda, sulit dipahami, tumpang tindih, tidak konsisten, dan tidak komprehensif," ujar Titi.