REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Junta militer Myanmar meminta pegawai negeri kembali bekerja dan masyarakat berhenti berunjuk rasa demi menghindari penyebaran virus corona. Perintah ini disampaikan di hari keenam unjuk rasa menentang kudeta militer 1 Februari lalu.
Washington mengumumkan sanksi pertama mereka pada pemerintah militer Myanmar. Anggota parlemen Uni Eropa juga meminta negara anggota blok itu mengambil langkah untuk melawan penguasa militer Myanmar. Inggris mempertimbangkan hukuman atas pengambilalihan kekuasaan secara paksa itu.
Kudeta dan penahanan pemimpin negara Aung San Suu Kyi serta politikus terpilih lainnya memicu unjuk rasa terbesar sejak 'Revolusi Safron' 2007. Gerakan yang membawa Myanmar meraih demokrasi yang terhenti pada awal bulan ini.
Dalam pernyataannya yang terbaru untuk pertama kalinya Jenderal Min Aung Hlaing menyinggung unjuk rasa. Ia menyalahkan 'orang tak bermoral' telah mendorong pembangkangan sipil yang dilakukan petugas medis, guru, pegawai kereta api dan pegawai negeri lainnya.
"Mereka yang tidak menjalankan tugas diminta untuk segera kembali menjalankan tugas untuk kepentingan negara dan rakyat tanpa fokus pada emosi," katanya, Kamis (11/2) kemarin.
Dalam pernyataan yang dirilis badan informasi angkatan bersenjata itu Hlaing juga meminta rakyat untuk tidak berkumpul. Alasannya akan memicu penularan virus corona. Pengunjuk rasa turun ke jalan di seluruh negeri.
Baca juga : Indonesia Siapkan Evakuasi WNI Jika Kondisi Myanmar Memburuk
Ratusan pegawai menggelar pawai di ibu kota Nay Pyi Taw sambil meneriakan slogan anti-junta dan membawa spanduk mendukung Suu Kyi. Ribuan pengunjuk rasa turun di kota bisnis Yangon.
"Sungguh lelucon! Dia pasti sangat delusional meminta rakyat yang berunjuk rasa menentangnya untuk pulang dan bekerja," kata salah seorang pengguna Twitter yang diidentifikasi Nyan Bo Bo dalam menanggapi permintaan Min Aung Hlaing, dilansir dari Reuters, Jumat (12/2).