REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menolak permohonan mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawas (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo untutk ditetapkan sebagai "justice collaborator". Majelis Hakim telah menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan. Selain itu Brigjen dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan penjara terhadap Brigjen Prasetijo.
"Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 tahun 2011, Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa tidak memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai justice collaborator sehingga permintaan terdakwa sebagai justice collaborator tidak dapat dipertimbangkan,\" kata Majelis Hakim Joko Soebagyo saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (10/3).
Majelis Hakim menilai Brigjen Prasetijo Utomo terbukti menerima suap 100 ribu dolar AS dari terpidana kasus korupsi cessie Bank Bali Djoko Tjandra melalui Tommy Sumardi agar Prasetijo membantu proses penghapusan nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan pada sistem informasi keimigrasian (SIMKIM) Direktorat Jenderal Imigrasi.
Padahal Djoko Tjandra adalah terpidana kasus cessie Bank Bali yang harus menjalani putusan pidana 2 tahun penjara berdasarkan putusan Peninjauan Kembali No. 12 tertanggal 11 Juni 2009.
"Sejak pertama kali saksi Tommy Sumardi bertemu terdakwa, Tommy menyampaikan adalah terkait dengan pengecekan status red notice Djoko Tjandra dan ditindaklanjuti bertemu dengan Anita Kolopaking untuk memaparkan kasus Djoko Tjandra. Dalam persidangan, Tommy juga mengatakan untuk mengecek red notice Djoko Tjandra dan menghapus DPO Djoko Tjandra, Tommy sudah memberikan uang 100 ribu dolar AS sehingga terdakwa mengetahui sejak awal maksud uang tersebut," tutur hakim Joko.
Majelis hakim juga mempertimbangkan perbuatan Prasetijo yang mencabut Berita Acara Pemberiksaan (BAP) yang dilakukan Prasetijo. "Terdakwa mencabut BAP yang menerangkan bungkusan yang dibawa Tommy dan ditinggal di meja terdakwa dan di mobil terdakwa. Terdakwa bertanya isi bungkusan yang ditinggal di meja dan dijawab Tommy bahwa isinya adalah uang 50 ribu dolar AS, tapi kemudian terdakwa menyangkal BAP tersebut dan mengatakan yang benar adalah keterangannya di Propam," ungkap hakim Joko.
Tak hanya itu, Prasetijo juga kembali mencabut BAP saat menjadi saksi untuk mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Napoleon Bonaparte pada Agustus 2020 yang menjelaskan adanya pertemuan antara Prasetijo, Tommy Sumardi dan Napoleon.
"Prasetijo dalam BAP menjelaskan melihat Tommy Sumardi menyerahkan paper bag kepada Napoleon di meja Napoleon dan bertanya apa isinya kepada Tommy dan dijawab Tommy isinya adalah uang 50 ribu dolar AS. Namun, dalam sidang Napoleon terdakwa mengatakan hal itu tidak benar dan mengatakan tidak ada penyerahan uang dari Tommy ke Napoleon," tutur hakim Joko.
Alasan pencabutan itu adalah Prasetijo mengaku saat diperiksa dalam dalam kondisi tertekan.
"Tapi saksi verbal lisan dari penyidik yang dihadirkan diperoleh keterangan Prasetijo tidak dalam kondisi tertekan dan saat mengeluh sakit dibolehkan untuk beristirahat dan dan saat ingin dilanjutkan pemeriksaan terdakwa setuju untuk melanjutkan sehingga pencabutan BAP tidak beralasan," ungkap hakim Joko.
Adapun dalam memutus Majelis Hakim memiliki beberapa hal pertimbangan. Untuk hal yang memberatkan, Brigjen Prasetijo Utomo dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi. Selain itu, dia juga dinilai telah merusak citra atau nama baik institusi Polri di mata masyarakat.
"Pertimbangan yang meringakan, Brigjen Prasetijo Utomo sudah mengabdi di Institusi Polri selama 30 tahun, berprilaku sopan, dan mengakui perbuatannya," kata Damis.
Atas perbuatannya, ia melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.